Penggunaan Pupuk Organik Hayati Sebagai Upaya Perbaikan Kualitas Tanah pada Area Perkebunan Tebu di Kabupaten Blora

Tedhi Dana Pamuji, S.P.

Abstrak

Kabupaten Blora adalah salah satu daerah yang sedang mengembangkan budi daya tebu (Saccharum officinarum). Pabrik gula di kabupaten Blora yaitu PG Blora berada dibawah manajemen PT Gendhis Multi Manis (PT GMM) menerapkan model usaha perkebunan tebu secara kemitraan dengan para petani. Sebagai upaya mendukung peningkatan produksi tebu guna mendukung ketahanan gula nasional diperlukan berbagai teknologi dibidang pertanian. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah perubahan model pemupukan dan penggunaan pupuk organik hayati di area perkebunan tebu. Pemupukan pada budi daya tebu di kabupaten Blora dilakukan  dengan pola pemupukan dua kali yaitu pupuk I pada saat tanam dan pemupukan kedua pada umur 45 HST (Hari Setelah Tanam). Perbaikan pola pemupukan hendaknya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan unsur hara bagi tanaman tebu. Selain itu ketersediaan unsur hara pada tanah perlu dipertimbangkan. Selain pupuk sintesis untuk mendukung budi daya tebu yang produktif dan berkelanjutan perlu dilakukan pemupukan organik. Pupuk organik dapat dihasilkan dari residu tebu sehingga bahan tersebut dapat dikembalikan ke tanah. Eksplorasi mikroba potensial seperti penambat N, pelarut P, dan pelarut K dapat dilakukan di area kebun tebu di Blora. Penggunaan pupuk organik hayati diharapkan dapat menaikkan produktivitas tebu sehingga ketahanan gula nasional dapat tercapai.
Kata Kunci: Analisis daun, Analisis tanah, Pupuk organik hayati, Tebu

Pendahuluan

Kabupaten Blora adalah salah satu daerah yang memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Berbagai SDA tersebut ada yang bersifat tidak dapat diperbarui dan dapat diperbarui. Salah satu SDA yang dapat diperbaiki adalah lahan pertanian. Lahan pertanian dibagi menjadi lahan pertanian untuk tanaman pangan dan perkebunan. Salah satu perkebunan yang ada di Blora adalah perkebunan tebu (Saccharum officinarum). Tebu adalah tanaman utama yang menghasilkan gula di Indonesia. Selain gula tebu juga dapat menghasilkan produk lain seperti vetsin dan molases. Secara umum di Indonesia perkebunan tebu dibagi menjadi dua jenis yaitu perkebunan perusahaan yang dibagi menjadi Perkebunan Besar Nasional (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS) serta perkebunan rakyat (PR).  Luas lahan PBN adalah sejumlah 104.077 ha dan menghasilkan gula 552.437 ton, PBS sejumlah 138.398 ha dan menghasilkan gula 820.233 ton, serta PR sejumlah 213.344 ha dan menghasilkan gula 1.162.202 ton (BPS 2016).
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa PR merupakan kebun yang terluas dan dapat menghasilkan gula terbanyak dibandingkan PBN dan PBS. Peningkatan produksi dan kualitas gula diperlukan untuk mendukung tercapainya ketahanan gula nasional. Menurut Basuki, Setiani, dan Prasetyo (2011) potensi lahan perkebunan tebu di Blora adalah seluas 5.000 ha yang terbagi dalam enam belas kecamatan. Pabrik gula di kabupaten Blora yaitu PG Blora berada dibawah manajemen PT Gendhis Multi Manis (PT GMM) menerapkan model usaha perkebunan tebu secara kemitraan dengan para petani. PT GMM menyediakan bibit tebu dan modal usaha pinjaman kepada para petani. Sistem bagi hasil antara petani dan PT GMM adalah 70 : 30 dan hal tersebut dapat dikatakan sangat menguntungkan para petani. Namun demikian untuk mendukung peningkatan produksi tebu guna mendukung ketahanan gula nasional diperlukan berbagai teknologi dibidang pertanian. Salah satu teknologi yang dapat diterapkan adalah perubahan model pemupukan dan penggunaan pupuk organik hayati di area perkebunan tebu.
Tanah mineral adalah SDA hasil pelapukan batuan dan tersusun atas bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan mineral tanah merupakan bahan hasil pelapukan batuan yang mengandung berbagai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Bahan organik tanah berasal dari organisme yang ada pada tanah baik berupa flora dan fauna yang memiliki peranan penting dalam menunjang sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Air dan udara mengisi rongga dan pori-pori tanah. Berbagai interaksi yang ada pada tanah dapat digolongkan menjadi sifat mineralogi, sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologi tanah (Hardjowigeno 2007). Tanah sebagai tempat tumbuhnya tanaman memerlukan pengelolaan yang tepat baik secara fisik, kimia, dan biologi.
Menurut Badan Litbang Pertanian (2009) di kabupaten Blora jenis tanah yang ditemukan adalah order tanah Entisols, Inceptisols, Alfisols, Mollisols, dan Vertisols. Entisols adalah tanah muda yang belum berkembang dan biasanya ditemukan pada daerah aluvial dengan tekstur didominasi pasir. Inceptisols adalah tanah berkembang namun belum mengalami perkembang lanjut. Hal ini ditandai dengan penimbunan klei yang belum intensif pada horizon penciri bahwa (horizon kambik). Alfisols adalah tanah yang telah mengalami perkembangan lanjut dan mengalami penimbunan klei intensif pada horizon penciri bawah (horizon argilik), pada horizon argilik ini kandungan kejenuhan basa lebih dari 35% karena biasanya didominasi basa-basa. Mollisols adalah tanah subur dengan kandungan bahan organik tinggi dan berwarna hitam. Vertisols adalah tanah dengan penampakan fisik memiliki retakan-retakan karena didominasi oleh mineral klei tipe 2:1. Tanah ini tergolong tanah subur akan tetapi memiliki sifat fisik yang kurang bagus.
Tanah sebagai penopang tumbuhnya tanaman memerlukan sifat fisik yang baik agar akar tanaman dapat menembus ke dalam tanah dan kuat menopang batang tanaman tebu yang dapat tumbuh mencapai tiga meter. Ketersediaan air juga merupakan salah satu hal penting dalam sifat fisik tanah. Tanah yang baik adalah tanah yang dapat mencukupi kebutuhan air selama masa pertumbuhan dan pembentukan gula pada tanaman tebu. Dalam melakukan pengelolaan air pada tanah perkebunan tebu harus dihindari kadar air pada titik layu permanen dimana tanah sudah tidak mampu lagi menyediakan air bagi tanaman (Arsyad 2010). Pengolahan tanah sebelum tanam tebu merupakan salah satu upaya perbaikan sifat fisik tanah.
Pemupukan merupakan salah satu upaya perbaikan sifat kimia tanah dimana apabila ketersediaan unsur hara bagi tanaman sudah tidak mencukupi bagi tanaman dilakukan penambahan pupuk. Tanaman memerlukan unsur hara yang dibagi menjadi unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro adalah unsur yang dibutuhkan dalam jumlah banyak dan bagi menjadi unsur makro primer (N, P, dan K) dan unsur makro sekunder (Ca, Mg, S dan Si). Unsur mikro adalah unsur yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit seperti Fe, Cu, Zn, Mn, B, dan Mo. Selain ketersediaan unsur hara sifat kimia lainnya yang penting adalah derajat kemasaman (pH), koloid tanah, Kapasitas Tukar Kation (KTK), Kapasitas Tukar Anion (KTA) dan Kejenuhan Basa (KB) (Tan 1998). Nilai pH menunjukkan aktivitas ion H+ dalam tanah. Kemasaman tanah dibagi menjadi kemasaman aktif dan potensial. Kemasaman aktif adalah aktivitas ion H+ dalam larutan tanah, sedangkan kemasaman potensial adalah ion H+ dan Al3+ yang mudah ditukar dengan ion lainnya. Unsur hara dalam tanah banyak tersedia pada pH tanah yang berkisar 5.5 – 6.5, upaya peningkatan pH tanah dapat dilakukan dengan cara melakukan pengapuran  dengan menggunakan dolomit (CaMg(CO3)2) atau kalsit (CaCO3).
Koloid tanah berhubungan erat dengan KTK tanah. Koloid tanah berasal dari mineral klei (kaolinit, montmorilonit, dsb) dan bahan organik. KTK tanah adalah jumlah kation yang dapat ditahan dan dipertukarkan pada larutan tanah. Semakin tinggi nilai KTK tanah maka kesuburan tanah semakin meningkat. KTA tanah adalah kemampuan tanah dalam menahan dan menukarkan anion (PO43-, NO3-, dsb) dalam larutan tanah. Upaya peningkatan KTK dan KTA tanah adalah dengan pemberian bahan organik dalam tanah. KB tanah merupakan jumlah basa-basa dalam tanah yang dapat dipertukarkan pada kompleks pertukaran tanah. Tanah dengan KB yang tinggi adalah tanah yang subur.
Sifat biologi tanah merupakan sifat penting yang mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah. Tanah merupakan suatu sistem kehidupan yang kompleks yang mengandung berbagai jenis organisme dengan beragam fungsi untuk menjalankan berbagai proses vital bagi kehidupan terestrial (Saraswati, Husen, dan Simanungkalit 2007). Bahan organik tanah merupakan komponen organik yang berasal dari flora dan fauna yang ada pada tanah. Mikroorganisme dalam tanah juga merupakan salah satu faktor pendukung sifat biologi tanah sebagai perombak dan pendukung penyuplai unsur hara. Fauna tanah merupakan organisme yang berperan dalam perombakan bahan organik dan juga sebagai indikator sifat biologi tanah yang baik. Berdasarkan ukurannya fauna tanah dibagi menjadi makrofauna, mesofauna, dan mikrofauna tanah. Mikroorganisme dalam tanah berupa bakteri, fungi, dan mikoriza. Mikroorganisme tersebut memiliki peranan penting dalam kesuburan tanah, selain itu beberapa jenis mikroorganisme tersebut dapat bersimbiosis dengan tanaman guna mendukung suplai unsur hara bagi tanaman. Beberapa mikroorganisme yang menguntungkan dalam tanah adalah mikroba penambat nitrogen, mikroba pelarut fosfat, dan mikroba pelarut kalium.
Pemupukan pada budidaya tebu di kabupaten Blora dilakukan  dengan pola pemupukan dua kali yaitu pupuk I pada saat tanam dan pemupukan kedua pada umur 45 HST (Hari Setelah Tanam). Pola pemupukan lebih detail dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pola pemupukan tebu di kabupaten Blora
Periode
Waktu
Jenis Pupuk
Dosis (ku/ha)
Kandungan Hara
Pupuk I
Saat tanam
ZA
2 – 2.5
N, S
Phonska
2.5 – 3
N, P, K
Pupuk II
45 HST
ZA
2 – 2.5
N, S
Phonska
2.5 – 3
N, P, K
Sumber: Plantation Division PT GMM (2014)

Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa selama periode penanaman tebu hanya dilakukan dua kali pemupukan dimana pupuk yang digunakan adalah pupuk sintesis yang hanya mengandung unsur makro. Tanaman membutuhkan unsur hara makro dan mikro dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Apabila tanah pertanian seperti pada kebun tebu yang telah intensif digunakan untuk budi daya tebu diduga tingkat kesuburan terus menurun karena pemupukan yang hanya menggunakan pupuk makro. Menurut Ridge (2013) unsur hara yang dibutuhkan oleh tebu meliputi 17 unsur hara yang dibagi menjadi beberapa jenis seperti pada Gambar 1.

Gambar 1. Unsur hara esensial yang dibutuhkan tebu (Sumber: Ridge 2013)
Lebih lanjut McCray dan Mylaravu (2010) menganjurkan dilakukan analisis jaringan daun guna memastikan ketersediaan hara bagi tanaman tebu.

Gambar 2. Kurva respons unsur hara pada umumnya yang menunjukkan kecukupan (Sumber: McCray dan Mylaravu 2010)

Perbaikan pola pemupukan hendaknya dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan unsur hara bagi tanaman tebu. Selain itu ketersediaan unsur hara pada tanah perlu dipertimbangkan. Perbaikan model pemupukan ini dilakukan dengan beberapa tahapan seperti pada Gambar 3.


Gambar 3. Tahapan perbaikan pola pemupukan

Selain pupuk sintesis untuk mendukung budi daya tebu yang produktif dan berkelanjutan perlu dilakukan pemupukan organik. Pupuk organik adalah pupuk yang dihasilkan dari bahan-bahan organik yang telah didekomposisi menjadi bentuk lanjut yang lebih cepat dalam membantu menyediakan unsur hara bagi tanaman. Sumber bahan organik yang dapat digunakan untuk menghasilkan pupuk organik yang mudah didapatkan di area kebun tebu adalah daun tebu dan hasil penggilingan batang tebu. Menurut Beary, Boopathy, dan Templet (2002) penggunaan konsorsium bakteri-fungi dapat mempercepat dekomposisi residu tebu. Konsorsium tersebut adalah fungi Ceriporiopsis subvermispora dan bakteri Cellulomonas sp. dipilih karena kemampuan selulolitiknya dan Azospirillum brasilense karena kemampuannya menambat N. Penggunaan mikroba untuk mempercepat dekomposisi ini diharapkan dapat membantu penyediaan pupuk organik bagi pemupukan tebu.
Saat ini pupuk organik dikembangkan menjadi pupuk organik hayati, yaitu pupuk organik yang telah diperkaya dengan mikroorganisme yang bermanfaat seperti mikroba penambat N, pelarut P, dan pelarut K. Tahapan untuk menghasilkan pupuk organik hayati tersebut disajikan pada Gambar 4. Mikroba tersebut dapat dihasilkan dari lokasi setempat (indigenous microbes) yaitu dengan cara melakukan eksplorasi mikroba potensial di beberapa lokasi perkebunan tebu di Blora. Proses seleksi mikroba unggul dilakukan dengan melakukan uji laboratorium sesuai dengan masing-masing jenis mikroba yang diinginkan. Apabila telah diperoleh isolat unggul maka tahapan selanjutnya adalah peremajaan dan perbanyakan mikroba.


Gambar 4. Tahapan untuk menghasilkan pupuk organik hayati

Tan et al (2009) telah memaparkan beberapa mikroba potensial yang digunakan pada pupuk organik hayati di Thailand, China, dan Australia yang tersaji pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan mikroba pada beberapa produk pupuk organik hayati

Thailand
China
Australia
Penambat N
Bacillus sp.
Bacillus oleronius
Brevibacillus sp.
Paenibacillus chibensis
Azospirillum sp.
Bacillus cereus
Bacillus sp.
Corynebacterium sp.
Pseudomonas sp.
Azospirillum sp.
Bacillus cereus
Bacillus
sp.
Pseudomonas sp.
Spirillum sp.
Pelarut P
Bacillus sp.
Bacillus oleronius
Paenibacillus chibensis
Bacillus cereus
Bacillus
sp.
Pseudomonas sp.
Bacillus cereus
Bacillus
sp.
Pseudomonas sp.
PGPR
Bacillus sp.
Bacillus oleronius
Brevibacillus sp.
Paenibacillus chibensis
Pseudomonas sp.
Proteus mirabilis
Azospirillum sp.
Bacillus cereus
Bacillus sp.
Corynebacterium sp.
Azospirillum sp.
Bacillus cereus
Bacillus
sp.
Spirillum sp.
Pseudomonas sp.
Actynomicetes
-
-
-
Lain-lain
Gordonia sputi
Rhodococcus globerulus
Sanguibacter keddieii
-
-
Sumber: Tan et al (2009)

Berdasarkan data tersebut apabila dari eksplorasi ditemukan mikroba sejenis yang bersifat unggul maka dapat dicoba untuk dikembangkan menjadi pupuk organik hayati. Keunggulan pupuk organik hayati diantaranya adalah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, membantu suplai unsur hara, dan memperbanyak mikroba potensial dalam tanah.
            Seperti yang dikemukakan oleh Tamba, Gustomo, dan Nuraini (2016) bahwa penggunaan kombinasi pupuk N dan Gluconacetobacter diazotrophicus dapat menambah jumlah N dalam tanah dan berpengaruh pada pertumbuhan tebu. Lebih lanjut Sundara, Natarajan, dan Hari (2002) melaporkan bahwa penggunaan bakteri pelarut fosfat (BPF) dapat secara nyata meningkatkan pertumbuhan dan produksi tebu. BPF dapat mereduksi penggunaan pupuk K dan dapat juga dikombinasikan dengan batuan fosfat (Rock Phosphate). Tentunya terdapat mikroba-mikroba lain yang potensial untuk mendukung penyediaan unsur hara bagi tanaman tebu.

Kesimpulan

Tanaman tebu adalah salah satu tanaman yang memiliki arti penting bagi kehidupan pertanian di Indonesia. Sebagai tanaman penghasil gula maka sudah seharusnya teknologi dalam budi daya tebu selalu ditingkatkan. Kabupaten Blora adalah salah satu daerah yang sedang mengembangkan tebu. Hal ini didukung dengan adanya PG Blora dibawah PT Gendhis Multi Manis. Salah satu bentuk usaha peningkatan produktivitas tebu adalah dengan perbaikan model pemupukan yang lebih lengkap dan berimbang berdasarkan hasil analisis tanah dan jaringan daun. Pemupukan hendaknya tidak hanya dilakukan dengan memberikan pupuk sintetis tetapi juga dilengkapi dengan pupuk organik. Pupuk organik dapat dihasilkan dari residu tebu sehingga bahan tersebut dapat dikembalikan ke tanah. Eksplorasi mikroba potensial seperti penambat N, pelarut P, dan pelarut K dapat dilakukan di area kebun tebu di Blora. Penggunaan pupuk organik hayati diharapkan dapat menaikkan produktivitas tebu sehingga ketahanan gula nasional dapat tercapai.

Daftar Pustaka

Arsyad S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor (ID): IPB Press.
Badan Litbang Pertanian. 2009. PIU Kabupaten Blora. http://pfi3p.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=64&Itemid=100. [diakses pada 29 Juli 2017].
Basuki S, C Setiani, T Prasetyo. 2011. Analisis permodalan usahatani tebu di Jawa Tengah (studi kasus di kabupaten Blora). Semiloka Nasional Dukungan Agro Inovasi untuk Pemberdayaan Petani dalam Pengembangan Agribisnis Masyarakat Perdesaan (Prosiding): 511 – 518.
Beary TP, R Boopathy, P Templet. 2002. Accelerated decomposition of sugarcane residu pusing a fungal-bacteria consortium. International Biodeterioration and Biodegradation. 50: 41 – 46.
BPS [Badan Pusat Statistik]. 2016. Statistik Tebu Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
Hardjowigeno S. 2007. Ilmu Tanah. Jakarta (ID): Akademika Pressindo.
McCray JM, R Mylaravu. 2010. Sugarcane nutrient management pusing leaf analysis. The Institute of Food and Agricultural Sciences University of Florida. SS-AGR-335.
Plantation Division PT GMM. 2014. Cara Budidaya Tebu. http://plantation-gmm.blogspot.co.id/2014/04/cara-bubidaya-tebu.html. [diakses pada 27 Juli 2017].
Ridge R. 2013. Fertilizing for High Yield and Quality Sugarcane. Coral Cove (AUS): International Potash Institute.
Saraswati R, E Husen, RDM Simanungkalit. 2007. Metode Analisis Biologi Tanah. Bogor (ID): BBSDLP.
Sundara B, V Natarajan, K Hari. 2002. Influence of phosphorus solubilizing bacteria on The changes in soil available phosphorus and sugarcane and Sugar yields. Field Crop Research. 77: 43 – 49.
Tan GH, MS Nordin, TL Kert, AB Napsiah, LSH Jeffrey. 2009. Isolation of beneficial microbes krom biofertilizer Products. J.Trop.Agric.andFd.Sc. 37 : 103 – 109.
Tamba LN, D Gustomo, Y Nuraini. 2016. Pengaruh aplikasi bakteri endofit penambat nitrogen dan pupuk nitrogen terhadap serapan nitrogen pertumbuhan tanaman tebu. J.Tan.SDL. 3 : 339 – 344.
Tan KH. 1998. Principle of Soil Chemistry 3rd ed. New York (US): Marcel Dekker.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIGITASI PETA DIGITAL

SOIL AMENDMENT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIA

STRATEGI DAN PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT