SOIL AMENDMENT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIA
Ika Mustika Sundari (A1412007),
Clara Juliana Rahayu (A1412023),
Darmawan (A14120026), Tedhi Dana
Pamuji (A14120033)[1], Riniawati (A14120044),
Christian Aldadwianto
(A14120047), Siti Hajar (A14120058),
Triawan Wicaksono (A14120060),
Dwi Nirmla Swabawati (A14120069),
Lukman Chakim (A14120085), Ahya
Salam (A14120083),
Violeta Ekanjani (A14120084),
Syafitri Indriaswari (A14120100)
Kelompok Zeolit
Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah 2015
Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Tanah merupakan
sumberdaya alam yang digunakan untuk berbagai keperluan kehidupan manusia
seperti budidaya tanaman, pembuatan bangunan, dan berbagai industri. Usaha
budidaya tanaman memerlukan tanah dengan kuantitas dan kualitas yang baik.
Tanpa adanya tanah dengan kualitas yang baik maka usaha budidaya tanaman tidak
dapat berjalan dengan optimal. Namun sayangnya pada saat ini banyak terjadi
degradasi tanah baik dari aspek fisik, kimia, dan biologi tanah. Salah satu
aktifitas yang menyebabkan degradasi tanah adalah pertambangan. Dampak dari
pertambangan yang tidak dikelola dengan benar adalah menyebabkan tercemarnya
tanah oleh unsur – unsur logam berat seperti Pb dan Cd. Jika kedua unsur
tersebut berada dalam bentuk tersedia bagi tanaman maka dapat menyebabkan
keracunan tanaman. Selain itu jika manusia mengkonsumsi tanaman yang
terkontaminasi unsur logam berat maka dapat menyebabkan berbagai penyakit
berbahaya bagi manusia. Salah satu bentuk upaya untuk mencegah aktifnya unsur
logam berat adalah dengan menggunakan soil
amendment. Penggunaan soil amendment untuk
memperbaiki tanah telah banyak dilakukan. Bentuk pengelolaan yang efektif
adalah dengan menerapkan sistem inaktivasi in
situ logam berat dalam tanah dengan menggunakan berbagai bahan soil amendment seperti zeolit, kapur,
dan bahan organik (humus) untuk menonaktifkan unsur logam berat dalam tanah.
Kata kunci: Inaktivasi
in situ, logam berat, soil amendment.
LATAR
BELAKANG
Sektor pertambangan merupakan sektor yang sangat penting bagi Indonesia
karena cadangan bahan tambang cukup besar dan kegiatan pertambangan cukup
intensif. Sektor ini pada triwulan III tahun 2005 menyumbang 10.45 % dari
Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Nasional atau setara 74 trilyun rupiah.
Indonesia mempunyai Indeks Potensi Mineral pada peringkat 16 dari 47 negara
yang dinilai mempunyai potensi bahan tambang cukup besar di dunia. Sehubungan
dengan itu maka banyak investor yang berusaha untuk dapat melakukan kegiatan
usaha pertambangan di Indonesia. Saat ini terdapat 186 perusahaan aktif dalam
bentuk 146 Kuasa Pertambangan (KP), 25 Perjanjian Karya Perusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) dan 15 Kontrak Karya (KK).
Aktifitas
pertambangan memiliki dampak positif dan negatif bagi lingkungan. Dampak
negatif dari aktifitas pertambangan diantaranya adalah degradasi sumberdaya
lahan. Sumberdaya lahan yang rentan mengalami kerusakan adalah tanah. Tanah
merupakan bagian dari alam yang manfaatnya dibutuhkan oleh organisme yang
menempatinya. Dampak negatif berupa degradasi tanah dapat berupa pencemaran
tanah oleh unsur – unsur logam berat seperti Pb dan Cd. Jika unsur – unsur
tersebut berada dalam bentuk tersedia bagi tanaman maka akan diserap oleh
tanaman dan dapat menyebabkan kontaminasi logam berat pada tanaman.
Tanaman
yang mengalami kontaminasi logam berat sangat berbahaya jika dikonsumsi oleh
manusia. Dampak jangka panjang bagi manusia adalah berbagai penyakit berbahaya
yang dapat diderita oleh manusia. Maka dari itu diperlukan suatu usaha
untuk mencegah unsur logam berat ada dalam keadaan tersedia bagi tanaman.
Inaktifasi in situ dengan menggunakan
soil amendment merupakan salah satu
teknik yang optimal untuk menonaktifkan unsur logam berat dalam tanah. Soil amendment merupakan bahan yang
digunakan untuk membenahi tanah yang terdegradasi. Berbagai soil amendment yang dapat digunakan
contohnya adalah zeolit, kapur, dan bahan organik (humus).
DESKRIPSI
SOIL AMENDMENT
Soil
amendment (bahan pembenah tanah) adalah berbagai
material yang diberikan ke dalam tanah yang memiliki fungsi untuk memperbaiki
sifat fisik, kimia, dan biologi tanah serta meningkatkan pertumbuhan tanaman.
Sumber bahan pembenah tanah dapat berasal dari on-farm atau off-farm.
Bahan pembenah tanah dari on-farm
seperti kotoran hewan, sisa tanaman, dan kompos. Sedangkan bahan pembenah tanah
off-farm seperti pupuk kimia dan
bahan mineral. Penggunaan bahan pembenah tanah yang tidak sesuai dapat
menyebabkan efek negatif terhadap tanaman serta dapat merusak tanah, air, dan
lingkungan sekitar (Rajiman, 2014)
Soil amendment pada
dasarnya terdiri dari 2 kategori umum yaitu organik dan inorgaik. Organic amendment dapat meningkatkan
kandungan bahan organik tanah dan manfaat lain untuk tanah. Seiring berjalannya
waktu, bahan organik ini dapat meningkakan aerasi tanah, infiltrasi air tanah,
kapasitas tanah memegang air, dan KTK tanah.
Selain itu kandungan bahan organik tanah juga merupakan sumber energi
penting untuk bakteria, fungi, cacing tanah, dan organisme-organisme tanah
lain. Sedangkan untuk inorganil soil
amendment dapat berupa pupuk kimia inorganik, dolomit, dan lainnya (Davis dan
Whiting, 2013). Menurut Davis dan Whiting (2013), pada pemilihan dan
pengaplikasiannya soil amendment harus
memperhatikan beberapa faktor penting. Setidaknya ada empat faktor penting yang
harus diperhatikan, yakni:
1. Tekstur
tanah,
2. Salinitas
tanah dan sensitivitas tanaman terhadap garam,
3. Kadar
garam dan pH dari soil amendment, dan
4. Seberapa
lama soil amendment bertahan di dalam
tanah.
HUBUNGAN SOIL AMENDEMENT DENGAN PENGELOLAAN TANAH
Kegiatan pertambangan sebagian besar merupakan pertambangan di darat yang
menerapkan teknik penambangan terbuka (open
pit mining), sehingga menyebabkan perubahan bentang alam, yang meliputi
topografi, vegetasi penutup, pola hidrologi dan kerusakan tubuh tanah. Sebagai
akibatnya adalah ekosistem tempat penambangan dan sekitarnya akan terganggu dan
bahkan berubah. Gangguan ini akan semakin nyata jika batuan limbah mengandung
mineral- mineral yang tidak stabil dalam kondisi oksidatif sehingga
menghasilkan air-air asam tambang yang mengganggu pertumbuhan biota. Gangguan
terhadap ekosistem dapat terjadi juga pada lahan di luar tempat penambangan
oleh karena adanya pengendapan tailling sebagai limbah proses pengolahan bahan
galian tersebut. Lahan yang telah mengalami kerusakan akibat kegiatan
penambangan perlu direklamasi untuk mengembalikan fungsi ekologisnya dan
ditingkatkan nilai ekonomisnya.
Menurut UU No. 11 1967 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok Pertambangan
dalam pasal 30 yang menyatakan bahwa “Apabila selesai melakukan penambangan
bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang KP diwajibkan mengembalikan
tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya bagi masyarakat
sekitarnya”. Selanjutnya menurut KepMen Pertambangan dan Energi No.
1211.K/008/M.PE/1995, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan
Pencemaran Lingkungan pada Kegiatan Umum menyatakan bahwa (a) Reklamasi areal
bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan
yang telah ditetapkan. Dan (b) Reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui
oleh Dirjen (Pasal 12). Selanjutnya KepMen tersebut menyatakan bahwa Kepala
Teknik Tambang wajib menanami kembali daerah bekas tambang termasuk daerah
sekitar project area sesuai studi
AMDAL yang bersangkutan (Pasal 13 ayat 1).
Untuk mengembalikan lahan bekas tambang agar tidak bermasalah bagi
lingkungan, maka diperlukan usaha-usaha untuk memperbaiki lahan dan menanami
kembali lahan tersebut agar berfungsi kembali sebagai hutan. Kebijakan
reklamasi ini ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan dilakukan
seoptimal mungkin dan setelah ditambang segera dipulihkan fungsi lahannya.
Disamping itu reklamasi harus dilaksanakan secepatnya sesuai dengan kemajuan
tambang yang merupakan bagian dari skenario pemanfaatan lahan pasca tambang.
Penambangan terbuka selalu menggangu vegetasi penutup tanah karena pada
proses penambangan selalu mengupas tanah sebelum mengambil bahan tambangnya.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan kondisi daerah tambang seperti sebelumnya
atau membuat lebih baik dari kondisi sebelumnya maka perlu dilakukan
revegetasi. Namun, kendala yang sering dihadapi dalam revegetasi adalah
sifat-sifat tanah bekas tambang sudah berubah dari tanah sebelumnya karena
topsoil telah terkupas sehingga perlu dilakukan perbaikan topsoil sebelum
dilakukan revegetasi. Dalam melakukan revegetasi juga mengalami kendala berupa
lapisan tanahnya tipis sehingga ruang perakaran sempit, kandungan unsur hara
rendah, daya menahan air rendah, masam, dan kandungan logam-logam berat tinggi.
Oleh karena itu diperlukan usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut agar
revegetasi dapat dilakukan lebih baik.
Di Indonesia, sudah dilakukan
reklamasi terhadap lahan-lahan tambang. Salah satunya di Nusa Tenggara Barat. Proses reklamasi di lokasi bekas tambang emas dan tembaga
yang dilakukan oleh PT Newmont Nusa Tenggara atau yang sekarang diberi nama
Batu Hijau, Nusa Tenggara Barat ini diawali dengan pembukaan lahan (land clearing), membersihkan lahan dari
gangguan-gangguan hingga siap untuk direklamasi. Lalu dilakukan penelitian soil sampling untuk mengetahui kelayakan
tanah lapisan atas (top-soil) dan
tanah lapisan bawah (sub-soil) untuk
digunakan dalam kegiatan reklamasi. Penelitian ini penting karena sangat
menentukan keberhasilan kegiatan reklamasi. Lahan bekas tambang nantinya akan
di lapisi oleh tanah-tanah tersebut.
Setelah diketahui
kelayakan dari sampel tanah yang diambil, baru kemudian dilakukan pengangkutan
tanah untuk keperluan reklamasi. Lapisan yang diangkut biasanya lapisan tanah sub soil (lapisan tanah dalam kedalaman
30-90 cm) dahulu, sedangkan lapisan top
soil disimpan dahulu di stock
pile. Penyebaran tanah dilakukan bertahap dengan pemadatan (compaction).
Penyebaran tanah pertama adalah penyebaran tanah sub-soil setebal 0,5 m.
Selanjutnya tanah tersebut dipadatkan sampai dengan kepadatan minimal 95%.
Setelah
pemadatan pada lapis pertama selesai, dilakukan penyebaran dan pemadatan
lapisan tanah kedua disusul dengan lapisan tanah ketiga yaitu tanah sub-soil
dengan ketebalan yang sama dengan tanah lapis pertama. Lapisan tanah yang
keempat (sub-soil) ketebalannya 0,4
m. Setelah itu dipadatkan dengan kepadatan minimal 95%. Lapisan tanah kelima (sub-soil) ketebalannya 0,35 m dan
kepadatannya minimal 95%. Lapisan tanah keenam adalah top-soil dengan ketebalan
tanah 0,5 m dan kepadatannya 85%. Setelah pemadatan enam lapis selesai
dilakukan, proses selanjutnya adalah pemasangan energy breaks, lalu
penyebaran bibit (hidroseeding) dan
dilanjutkan dengan penanaman.
Metode remidiasi lainnya yang umumnya diterapkan pada
tanah yang tercemar logam berat ini berbasis teknik kimia dan rekayasa sipil,
diantaranya teknik soil washing, ashing,
replacement, dan teknik-teknik elektrokinetik (Virkutyte et al, 2002). Teknik-teknik ini bersifat
ex situ karena memerlukan ekskavasi
lapisan tanah yang tecemar sehingga biayanya pun sangat mahal. Salah
satu metode alternatif yang lebih murah dan ramah lingkungan tetapi tetap
efektif dan dapat diterapkan pada tanah pertanian adalah teknik inaktivasi in
situ. Teknik ini merujuk pada penggunaan bahan-bahan penyehat tanah (soil
amendments) yang memiliki kapasitas sorpsi yang tinggi terhadap kation
logam berat. Soil amendments yang
diaplikasikan akan mengubah bentuk fase padatan logam berat dalam tanah yang
sebelumnya berada terlarut dan sangat mudah larut atau fraksi aktif menjadi
fraksi yang secara geokimia lebih stabil, sehingga keterserapan toksisitasnya
terhadap tanaman menurun (Vangronsveld et al, 1998).
Menurut
Vangronsveld et al (1998),
pengaplikasian dan pengembangan teknik in
situ menggunakaan beragam soil amendements terutama pada tanah
tercemar oleh berbagai jenis logam berat telah banyak dilakukan di
negara-negara maju, namun pengujian efektivitas soil amendments dan pupuk pada dosis rasional dalam menginaktivasi
secara in situ pencemar logam berat dalam tanah belum banyak dilakukan di Indonesia.
Soil amendments yang diaplikasikan
harus memiliki kapasitas yang tinggi untuk meningkatkan sorpsi tanah terhadap
logam berat namun tidak berpengaruh negatif terhadap kesuburan fisik, kimis,
dan biologi tanah maupun ekosistem.
Kapasitas
tanah dalam meretensi, menjerap dan mengakumulasikan logam berat terutama
ditentukan oleh kadar liat, kadar air, potensial redoks, pH, kadar bahan
organik dan kapasitas tukar kation (Bohn et al, 1979; Jones et al, 1981; Lindsay, 1979; Stevenson,
1982). Logam berat (heavy metals) merupakan
sekelompok unsur logam minor (trace metals) yang bersifat racun (toxic
metals) bagi ekosistem. Terminologi ini dari sudut pandang ilmu kimia tidak
sepenuhnya tepat karena dalam kadar berlebih semua unsur dapat bersifat racun
dan sebagian darinya bukan unsur logam (metals) melainkan metalloids.
Alloway (1995) mengusulkan terminologi “unsur berpotensi beracun” atau “potentially
toxic element”, tetapi dalam kepustakaan terminologi “logam berat” masih
sering digunakan. Logam berat adalah unsur logam yang memiliki bobot
molekul tinggi dan kerapatan jenis > 6 g.cm-3 (Lepp 1981). Logam berat pada
umumnya beracun bagi tumbuhan dan manusia walaupun dalam kadar yang rendah,
contohnya Hg, Pb, Ni, Cd, Cu, Zn dan As. Logam berat dengan kadar yang berlebih
di dalam tanah dapat mencemari tanaman yang tumbuh di atasnya. Menurunnya
produktivitas tanah akibat pencemaran logam berat terutama akan menurunkan
kualitas produksi tanaman pertanian (Notohadiprawiro 1991).
Fergusson (1991) menambahkan kriteria logam berat yang mempunyai
manfaat ekonomis (industri dan pertanian) yang berpotensi menimbulkan dampak
negatif terhadap ekosistem dan kesehatan sebagai berikut: (1) terdapat dalam
kadar yang relatif tinggi dalam kerak bumi, (2) dieksploitasi dalam jumlah signifikan
oleh manusia, (3) digunakan di lokasi yang tidak terjadi kontak dengan publik,
(4) dalam kadar tinggi bersifat toksik bagi kesehatan, dan (5) menyebabkan
gangguan signifikan terhadap siklus biogeokimia. Salah satu
logam yang merupakan unsur minor bagi tumbuhan adalah tembaga. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya bahwa tembaga jika terdapat dalam konsentrasi yang
tinggi dapat meracun bagi tanaman, sehingga perlu dilakukan usaha penurunan
konsentrasi tembaga yang larut dalam tanah.
Tembaga (Cu) merupakan salah satu hara esensial untuk tanaman,
termasuk kedalam golongan IB dalam tabel periodik dan mempunyai berat atom
63.546. Mineral-mineral Cu di alam umumnya terdapat dalam bentuk sulfida,
walaupun ada juga dalam bentuk-bentuk yang kurang stabil seperti silikat,
karbonat dan sulfat. Bentuk sulfat yang paling banyak dijumpai adalah chalcopyrite
(CuFeS2) (Alloway 1995). Bentuk-bentuk silikat, karbonat, sulfat, klorida
dll merupakan mineral-mineral Cu(II) yang relatif larut sehingga sukar dijumpai
lagi di daerah-daerah yang sudah sangat tercuci (Leiwakabessy, 2004).
Kadar total Cu di dalam tanah
secara alami adalah 1-50 ppm dan ditribusinya dalam profil tanah sangat
bervariasi, tergantung pada jenis batuan induknya. Tembaga tersedia bagi
tanaman dalam bentuk kation dan senyawa kompleks. Ketersediaan Cu sangat
tergantung pada pH dan kadar bahan organik tanah. Jika pH di di dalam tanah
meningkat, maka ketersediaan Cu menurun karena terpresipitasi menjadi Cu(OH)2
(Lindsay, 2001). Hal ini mencerminkan ada penurunan pembebasan Cu dari
pelarutan mineral, peningkatan pengkomplekan Cu oleh bahan organik dan
penjerapan oleh permukaan klei tanah (Lepp, 1981). Toksisitas yang dimiliki
oleh tembaga baru akan bekerja dan memperlihatkan pengaruhnya bila logam ini telah
masuk ke dalam tubuh organisme dalam jumlah besar atau melebihi nilai toleransi
organisme terkait. Setiap studi toksikologi yang pernah dilakukan terhadap
penderita keracunan tembaga hampir semuanya meninjau metabolisme tembaga yang
masuk ke dalam tubuh secara oral. Pada manusia dalam dosis tinggi dapat
menyebabkan gejala ginjal, hati, muntaber, pusing, lemah, anemia, kram,
kovulsi, shock, koma, dan dapat menyebabkan penderita meninggal (Palar,
1994).
Kapasitas
sangga tanah terhadap logam berat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pH,
kadar bahan organik dan KTK tanah. Beberapa penelitian mengenai teknik in situ telah mulai dilakukan. Salah
satu dari penelitian tersebut adalah bertujuan untuk mengamati pengaruh
perlakuan ameliorasi dolomit, bahan organik kotoran sapi, dan pemupukan NPK
pada tanah yang dicemari Cu terhadap sifat kimia tanah, kadar Cu-tersedia, dan
produksi bobot kering tanaman. Dan hasil yang diperoleh dari penelitian ini
bahwa perlakuan ameliorasi dan pemupukan sebagai penerapan teknik in situ berpengaruh tidak konsisten
terhadap Cu-tersedia, tetapi memperbaiki sifat-sifat kimia tanah sehingga
meningkatkan bobot kering tanaman.
Teknik
in situ ini merupakan strategi
pengendalian pencemaran logam berat yang praktis, murah, dan efektif untuk
tanah-tanah pertanian. Penggunaan soil
amendments dan pemupukan dalam menginaktivasi secara in situ pencemar logam berat dalam tanah perlu dilakukan percobaan
atau penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan dosis yang rasional. Indonesia
memiliki banyak bahan mineral maupun limbah yang dapat digunakan sebagai soil amendments untuk mengaktivasi secara in
situ. Pemanfaatan berbagai soil amendments
dan pupuk tentu saja harus
didasarkan pada kombinasi jenis dan dosis yang efektif baik untuk meningkatkan
kesuburan tanah dan produksi tanaman maupun untuk meningkatkan mutu produk
komoditas yang dibudidayakan dari segi penurunan kadar logam berat dalam bagian
tanaman yang dikonsumsi (Sudadi, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
Alloway,
BJ. 1995. Heavy Metals in Soils. 2nd Ed.
Blackie Academic & Professional. Glasgow: Chapman & Hall.
Bohn
H, McNeal B, O’Conner G. 1979. Soil
Chemitry. New York: J- Wiley Intersci Publ. J Wiley & Sons.
Davis
JG, Whiting D. 2013. Choosing a Soil
Amendment. Colorado: Colorado State University.
Fergusson,
JE. 1991. The Heavy Elements: Chemistry, Environmental Impact and Health
Effects. Oxford: Pergamon.
Republik Indonesia. 1995. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi
No. 1211.K/008/M.PE/1995. Jakarta: Kementrian ESDM.
Leiwakabesy,
F.M., A. Sutandi. 2004. Pupuk dan
Pemupukan Tanah. Bogor: Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB.
Lepp,
NW. 1981. Effect of heavy metal pollution. Vol 2. Effect of Heavy Metal on
Plant. Polythechnic. Liverpool UK. Applied Science Publ. London and New
Jersey.
Lindsay
WL. 2001. Chemical Equilibria in Soils. New York : John Wiley &
Sons.
Notohadiprawiro,
T., Suryanto, M. Shodiq Hidayat & Anjal Anie Asmara. 1991. Nilai Pupuk Sari
Kering Limbah (sludge) Kawasan Industri dan Dampak Penggunaannya Sebagai
Pupuk atas Lingkungan. Ilmu Pertanian. IV(7):361-384.
Palar,
H. 1994. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Rajiman. 2014. Pengaruh bahan pembenah tanah di
lahan pasir pantai terhadap kualitas tanah. Palembang. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal 2014. September 26-27.
Republik Indonesia. 1967. Undang – Undang No. 11 1967 tentang Ketentuan–Ketentuan Pokok
Pertambangan. Jakarta: Sekretariat Negara.
Sudadi.
2009. Inaktivasi In Situ Pencemaran
Kadmium dan Pumblum pada Tanah Pertanian Menggunakan Amelioran dan Pupuk pada
Dosis Rasional untuk Budidaya Tanaman. Disertasi. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Vangronsveld
J, Cunningham SD. 1998. Itroduction to the concept. Di dalam: Vangronsveld J,
Cunningham SD, editor. Metal-Contaminated
Soils: In Situ Inactivation and Phytorestoration. Berlin: Springer-Verlag.
1-15.
Virkutyte
J, Sillanpaa M, Latostenmaa P. 2002. Electokinetic soil remediation-critical
overview. Sci. Total Environment 289:
97-121.
[1] Ketua
Kelompok Zeolit,
mahasiswa peserta Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah IPB. tedhidanap@gmail.com.
Komentar
Posting Komentar