KAJIAN PERENCANAAN INDONESIA MENUJU KEDAULATAN PANGAN (STUDI KASUS: EKTENSIFIKASI LAHAN SAWAH DI PULAU PAPUA)
Ika
Mustika Sundari (A1412007), Clara Juliana Rahayu (A1412023),
Darmawan
(A14120026), Tedhi Dana Pamuji (A14120033)2, Riniawati (A14120044),
Christian
Aldadwianto (A14120047), Siti Hajar (A14120058),
Triawan
Wicaksono (A14120060), Dwi Nirmla Swabawati (A14120069),
Lukman
Chakim (A14120085), Ahya Salam (A14120083),
Violeta
Ekanjani (A14120084), Syafitri Indriaswari (A14120100)
Kelompok Zeolit
Praktikum
TSL400 Pengelolaan
Tanah 2015
Departemen Ilmu Tanah
dan Sumberdaya Lahan
Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Pemenuhan
kebutuhan pangan merupakan kewajiban pemerintah negara Republik Indonesia.
Pangan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah beras. Padi
merupakan tanaman penghasil beras yang memerlukan lahan khusus untuk
budidayanya. Lahan sawah merupakan lahan dimana padi dapat dibudidayakan. Tanah
sawah merupakan tanah dengan kondisi tergenang yang secara kimiawi akan
mengalami proses reduksi-oksidasi selama masa budidaya tanaman padi. Keadaan
yang demikian menyebabkan lahan sawah memerlukan pengelolaan yang khusus. Saat
ini Pulau Jawa merupakan sentra produksi pangan nasional yang menyuplai lebih
dari separuh kebutuhan pangan nasional. Namun demikian konversi lahan sawah
secara besar – besaran terjadi di Pulau Jawa akibat perkembangan sektor industri
diluar pertanian. Untuk meyediakan lahan persawahan diluar Pulau Jawa maka
pemerintah melalui MP3EI mencanangkan untuk membuak lahan persawahan di Pulau
Papua. Selain itu di MP3EI juga tidak mencanangkan Pulau Jawa sebagai sentra
produksi pangan melainkan sebagai sentra industri. Maka dari itu diperlukan
suatu kajian mengenai keseuaian lahan di Pulau Papua untuk lahan persawahan dan
mengkaji program Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan di Pulau Jawa. Hal ini
diperlukan guna mengetahui sejauh mana perencanaan tersebut dapat mendukung
terwujudnya kedaulatan pangan di Indonesia.
Abstrak:
Kesesuian Lahan, MP3EI, Sawah
LATAR
BELAKANG
Pangan merupakan kebutuhan paling
mendasar yang harus dipenuhi setiap saat. Pemenuhan kebutuhan
pangan nasional sampai saat
ini terus mengalami peningkatan
karena adanya pertumbuhan
konsumsi pangan dan
pertambahan penduduk yang telah
mencapai lebih dari 250 juta jiwa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan
kebutuhannya dapat menciptakan ketidak stabilan ekonomi serta permasalahan sosial dan politis.
2Ketua Kelompok Zeolit,
mahasiswa peserta Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah IPB. tedhidanap@gmail.com.
Sampai saat ini, beras merupakan
komoditas yang menduduki posisi
strategis dalam proses
pembangunan pertanian. Masyarakat
Indonesia telah menjadikan beras
sebagai makanan pokok,
sehingga beras menjadi
sektor ekonomi strategis
bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional. Ketersediaan tanah untuk lahan pertanian merupakan hal yang sangat penting. Defisit
lahan pertanian akan menjadi
ancaman serius bagi pencapaian ketahanan pangan nasional. Penyediaan tanah di
Indonesia saat ini bukanlah persolaan yang mudah, peningkatan jumlah penduduk
dan perkembangan struktur perkenonomian menyebabkan kebutuhan lahan untuk
kegiatan non pertanian saat ini cenderung terus menerus meningkat, sehingga
alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian semakin sulit dihindari. Data BPS menyebutkan bahwa setiap tahun
80.000 Ha lahan pertanian hilang atau sekitar 220 Ha lahan setiap harinya. Kondisi serupa inilah yang dapat menjadi pemicu
kondisi kerawanan pangan nasional.
Dalam rangka
mencapai kedaulatan pangan tersebut, negara harus mandiri dan berdaulat dalam
menentukan kebijakan pangannya sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya. Strategi agar ketersediaan pangan
tetap terjamin pemerintah
telah melakukan berbagai cara salah satunya
melaui pencetakan sawah baru (ektensifikasi pertanian). Kementerian
Pertanian Republik Indonesia
melalui Direktorat Perluasan dan Optimasi Lahan - Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), melaksanakan pembukaan lahan-lahan pertanian di berbagai
daerah. Perluasan
areal tanaman pangan melalui pencetakan sawah baru, diarahkan agar mampu menumbuhkan sentra pangan baru di berbagai wilayah yang dikelola secara
ekonomis, sehingga
cadangan pangan nasional dapat diperkuat, lapangan kerja dapat tercipta dan akhirnya dapat menempatkan petani dan pertanian rakyat
menjadi sokoguru perekonomian Indonesia.
Target dari pencetakan sawah baru adalah wilayah-wilayah di Indonesia yang
masih memiliki lahan yang luas antara lain: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Papua. Namun Presiden
Susilo Bambang Yudoyono dalam dokumen MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia), sentra pengembangan pangan dipusatkan di Provinsi Papua dan Sulawesi.
Pulau Jawa yang sudah menjadi sentra pangan dirubah menjadi sentra pengembangan
industri dan jasa. Hal ini dapat memicu terjadinya konversi lahan dan mengancam
kedaulatan pangan nasional.
Pulau papua
merupakan salah satu pulau besar di Indonesia. Pulau Papua memiliki kekayaan
sumberdaya alam yang tak ternilai. Selama ini di pulau Papua pengembangan
pertanian pangan belum banyak dilakukan. Melalui dokumen MP3EI pemerintah ingin
menjadikan Papua sebagai basis produksi pangan nasional. Namun demikian hal
tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan dikarenakan berbagai faktor seperti
kesesuaian lahan untuk pertanian pangan dan budaya masyarakat Papua tentang
pertanian yang berbeda dari masyarakat petani di pulau Jawa. Kajian ini
bertujuan untuk membahas kelayakan pulau Papua sebagai daerah pengahasil pangan
nasional dan strategi untuk mempertahankan pulau Jawa sebagai daerah penghasil
pangan nasional.
TANAH SAWAH
Padi merupakan
tanaman utama yang ditanam oleh petani di Indonesia. Tanaman padi dapat
digolongkan menjadi padi sawah dan padi gogo. Padi sawah merupakan jenis padi
utama yang ditanam oleh para petani di Indonesia. Tanah sawah memiliki
karakteristik yang berbeda dari tanah pada lahan kering. Menurut Situmorang dan
Sudadi (2001) sawah adalah tanah yang dibatasi oleh pematang yang digunakan
untuk penanaman padi dan diairi dengan pengairan teknis atau tadah
hujan. Sawah tidak hanya digunakan untuk menanam padi namun pada waktu–waktu
tertentu juga ditanami palawija atau tanaman lainnya. Ahn (1993) menyatakan
bahwa terdapat lima pola pertanaman padi pada daerah tropik yaitu irigasi,
tadah hujan, sebar langsung pada sawah irigasi, padi apung, dan pemanfaatan air
hujan di dataran tinggi/daerah berbukit. Tanah sawah umumnya terdapat pada
dataran rendah yang terendam secara alami, beberapa jenis tanah yang mempunyai
ketersediaan air cukup, dan tanah–tanah yang dapat diairi dengan air irigasi
(Kawaguchi dan Kyuma, 1977).
Menurut
Situmorang dan Sudadi (2001) tanah sawah
yang ada di Indonesia berasal dari berbagai order tanah yaitu Entisol,
Vertisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol. Karakteristik morfologi tanah sawah
berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan walaupun berasal dari bahan induk
yang sama, perbedaan pada karakteristik tanah tersebut sangat tergantung pada
kondisi lingkungannya. Menurut Kanno (1978) sifat– sifat morfologi tanah sawah
adalah adanya horizon eluviasi yang berada dalam keadaan tereduksi, adanya
horizon iluviasi yang banyak mengandung karatan besi dan mangan, dan secara
periodik horizon eluviasi mengalami reduksi dan oksidasi. Secara umum kondisi
reduksi–oksidasi pada tanah sawah merupakan faktor penting dalam kondisi kimia
tanah pada tanah sawah. Perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting
pada tanah sawah adalah: 1) kehilangan oksigen, 2) reduksi atau penurunan
potensial redoks (Eh), 3) konvergensi pH tanah, 4) peningkatan Daya Hantar
Listrik (DHL), 5) reduksi Fe dan Mn, 6) reduksi NO3- dan
NO2-, 7) reduksi SO42-, 8)
peningkatan sumber dan ketersediaan N, 9) peningkatan ketersediaan P, Si, dan
Mo, 10) pengaruh konsentrasi Zn dan Cu larut dalam air, dan 11) pembentukan CO2,
CH4, dan hasil–hasil dekomposisi bahan organik seperti asam organik
dan H2S (De Datta, 1981).
MASTERPLAN
PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI)
Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah
perencanaan besar yang dibuat oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono untuk melaksanakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi
Indonesia dari tahun 2011 sampai 2025. Melalui pelaksanaan MP3EI, Indonesia
ditargetkan untuk menjadi negara maju pada tahun 2025. Terdapat tiga pilar
utama pelaksanaan MP3EI yaitu strategi peningkatan potensi wilayah melalui
pengembangan pusat -pusat pertumbuhan di dalam koridor ekonomi, strategi
memperkuat konektivitas nasional, serta strategi meningkatkan kapasitas Sumber
Daya Manusia dan IPTEK.
Pembangunan
koridor ekonomi Indonesia dilaksanakan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah
yang tersebar di seluruh Indonesia. Terdapat enam koridor ekonomi sebagai
berikut:
1. Koridor Ekonomi Sumatera sebagai “ Sentra Produksi
dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”
2. Koridor
Ekonomi Jawa sebagai “ Pendorong Industri dan Jasa Nasional”
3. Koridor
Ekonomi Kalimantan sebagai “Pusat Prdoduksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan
Lumbung Energi Nasional”
4. Koridor
Ekonomi Sulawesi sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,
Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional”
5. Koridor
Ekonomi Bali-Nusa Tenggara sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung
Pangan Nasional”
6. Koridor
Ekonomi Papua sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan
Pertambangan Nasional”
Berdasarkan enam koridor ekonomi
tersebut terjadi perubahan pemusatan kegiatan pertanian pangan yang selama ini
di pulau Jawa menjadi di Pulau Sulawesi dan Papua. Pembangunan koridor ekonomi
di pulau Jawa sendiri digunakan sebagai pusat pendorong jasa industri dan jasa
nasional. Pemusatan kegiatan pertanian pangan di pulau Papua dipusatkan di
Merauke. Selama
ini pulau Papua
tidak memiliki produksi pertanian pangan sebesar pulau Jawa akibat dari
karakteristik dan kemampuan lahannya yang tidak sebaik di pulau Jawa. Pulau
Jawa banyak dikelilingi gunung api sehingga memiliki banyak tanah
yang subur dan dijadikan pusat kegiatan pertanian pangan sampai saat ini. Jika
pusat kegiatan pertanian pangan di pulau Jawa dipindahkan ke pulau Papua maka
perlu upaya dua kali lipat untuk menghasilkan produksi pangan yang setara secara
kuantitas jika diproduksi di pulau Jawa.
Gambar 1. Koridor Ekonomi Papua – Maluku pada MP3EI
Sumber:
Dokumen MP3EI Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011
POTENSI, PELUANG, DAN KENDALA MP3EI DI KABUPATEN
MERAUKE, PAPUA SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN PANGAN
Kabupaten Merauke memiliki sekitar 1.9 juta Ha lahan basah dan 1.2 juta
Ha diantaranya sesuai untuk pengembangan tanaman padi. Lahan basah yang
potensial untuk pengembangan dibagi dalam 206 klaster (kawasan sentra
produksi). Setiap klaster luasnya berkisar antara 5000 sampai 55000 Ha dimana
4000 Ha diantaranya akan dikembangkan untuk sawah dan sisanya adalah komponen
pendukung seperti peternakan, perkebunan, industri pengolahan, dan
infrastruktur. Sebagian besar (80.25%) lahan di Kabupaten Merauke memiliki
topografi yang datar (lereng kurang dari 3%) dan ketersediaan air cukup untuk
usaha pertanian, termasuk padi sawah. Dari potensi lahan basah seluas 1.937.291
Ha yang baru diusahakan untuk sawah 22.954 Ha.Sisanya seluas 1.1914.337 Ha
lahan basah masih belum termanfaatkan dan terbuka lebar untuk dikembangkan
menjadi persawahan. Berdasarkan kelas kesesuaian, 1.2 juta Ha dari 1.9 juta Ha
lahan basah tersebut tergolong memiliki potensi sedang sampai tinggi. Sebagian
dari area tersebut memiliki tutupan lahan berupa rumput rawa, alang-alang, dan
semak belukar sehingga pembukaan lahan untuk sawah tidak perlu merusak hutan. Lahan
basah yang berpotensi untuk pengembangan rice
estate berada pada landform alluvial
marine dan fluvio marine.
Kabupaten Merauke dapat dikembangkan sebagai sentra produksi padi untuk
memasok wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sampai saat ini wilayah Kawasan
Timur Indonesia (KTI) masih mengalami kekurangan produksi sekitar 2 juta ton di
tingkat nasional. KTI masih mengandalkan pasokan beras yang dikirim dari Pulau
Jawa, hal ini memiliki beban pada biaya angkut yang tinggi. Jika produksi
dilakukan di Merauke, harapannya konsumen akan mendapat harga beras yang lebih
murah.
Beberapa tempat di wilayah Merauke diketahui memiliki masalah terkait
dengan kesuburan tanah dan ketersediaan air baik kuantitas maupun kualitas. Sistem
pengelolaan air menjadi titik paling lemah karena adanya konflik kepentingan
antara petani padi dengan pencari ikan. Untuk mengatasi kendala fisik lahan
pengelolaan hara yang baik dan seimbang juga teknologi pengelolaan air dapat menjadi
solusi (Subiksa, 2008).
ULASAN
Pemindahan wilayah pusat pengembangan
pangan ke Provinsi Papua (Kabupaten Merauke) dalam MP3EI tidak realistis dalam
mendukung kedaulatan pangan. Berdasarkan pertimbangan agro-ekosistem, sentra
produksi utama komoditi pangan dan hortikultura adalah pulau Jawa (pantai utara
Jawa dan pantai selatan Jawa Tengah) yang merupakan daerah aliran sungai besar.
Aliran sungai yang relatif datar dan luas, seperti daerah aliran sungai Citarum
yang mampu mengairi sawah mencapai 356.000 Ha, daerah aliran sungai Bengawas
Solo mengairi sawah seluas 454.000 Ha, daerah aliran sungai Brantas mengairi
sawah seluas 233.000 Ha, daerah aliran sungai Cimanuk-Cisanggarung mengairi
sawah seluas 305.000 Ha. Sejak zaman dahulu kala leuhur bangsa Indonesia yang
menempati pulau Jawa telah membuat pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan
khusunya padi. Tanaman padi merupakan tanaman yang ditanam dilahan basah yaitu
pada lahan sawah. Seperti yang dikemukakan oleh Situmorang dan Sudadi (2001) sawah
adalah tanah yang dibatasi oleh pematang yang digunakan untuk penanaman padi
dan diairi
dengan pengairan teknis atau tadah hujan. Maka dari itu ketersediaan air
merupakan faktor yang sangat penting dalam mengembangkan lahan sawah. Pulau
Jawa memiliki sungai – sungai besar yang dapat menyediakan air bagi lahan
sawah. Untuk itu di pulau dibangun waduk –waduk yang berfungsi untuk mengelola
air bagi lahan sawah. Faktor ketersediaan air bagi tanah sawah sangat
mempengaruhi reaksi kimia dan elektrokimia dalam tanah sawah. Jika ketersediaan
air kurang maka dapat berpengaruh pada sifat kimia tanah sawah. Terdapat
kemungkinan jika air tidak tersedia secara cukup maka berbagai reaksi kimia
pada tanah sawah dapat menimbulkan kekurangan ketersediaan unsur hara bagi
tanaman padi.
Kenyataanya
sampai dengan saat ini pemenuhan kebutuhan terhadap pangan masih tertumpu di pulau
Jawa. Pulau Jawa yang luasnya 7% luas daratan Indonesia menyediakan lebih dari
separuh kebutuhan pangan nasional. Disisi lain menurut Widiatmaka et al (2013) Pulau Jawa mengalami
ancaman serius yaitu konversi lahan sawah ditengah majunya pertumbuhan industri
di Pulau Jawa. Irawan (2003) menyatakan lahan sawah di Pulau Jawa yang
terkonversi menjadi penggunaan lain dalam periode 1978-1998 saja sebesar 1.07
juta Ha, atau dengan pengurangan sebesar 8.000 Ha per tahun. Konversi lahan di
Pulau Jawa yang sangat tinggi diperkirakan akan berlanjut mengingat tingginya
tekanan kebutuhan terhadap lahan akibat padatnya penduduk dan peningkatan
intensitas pembangunan (Widiatmaka et al 2013).
Pulau Jawa dalam dokumen MP3EI tidak ada
investasi sektor pertanian. Koridor ekonomi
di Pulau Jawa difokuskan pada pengembangan sektor industri dan jasa dan hal ini
akan membuka celah terjadinya konversi lahan dalam skala besar untuk mendukung
percepatan pembangunan industri dan jasa. Jika tetap dipertahankan, pencapaian
kemandirian dan kedaulatan pangan akan sulit dicapai. Menurut Kasryono dan
Soeparno (2012), pencapaian
kemandirian dan kedaulatan pangan memerlukan luasan lahan sawah seluas 2 juta
Ha menjelang tahun 2025 untuk menghadapi pertambahan penduduk. Pulau Jawa sebagai
sentra produksi pangan harus dipertahankan dengan dukungan oleh perluasan lahan sawah di luar pulau Jawa,
seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.
Kehilangan lahan di Pulau Jawa harus
diganti dengan 1.5- 2 kalinya di luar Jawa. Hal ini terlihat dari data
produktivitas padi berdasarkan basis data kementrian pertanian tahun 2012, pulau
Jawa memiliki produktivitas padi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
wilayah Indonesia lainnya. Perencanaan pusat pengembangan pangan dalam MP3EI di
Kabupaten Merauke, Papua ini perlu ditinjau ulang karena luas lahan di Kabupaten Merauke tidak dapat
mencukupi kebutuhan pangan nasional. Seharusnya pulau Jawa tetap menjadi sentra
pengembangan pangan nasional.
Dilihat dari kondisi tanah dan air yang ada di pulau Papua terutama
Kabupaten Merauke, tidak semua lahan dapat dikonversi dan digunakan untuk lahan
sawah. Hanya 1.2 juta Ha dari 4.6 juta Ha luas keseluruhan Kabupaten Merauke
yang sesuai untuk digunakan sebagai lahan sawah. Berbeda dengan pulau Jawa dimana
hampir seluruh tanah memiliki daya dukung untuk digunakan sebagai lahan sawah,
baik dari aspek kesuburan tanah maupun dari ketersediaan air dan kondisi
topografi wilayahnya.
KESIMPULAN
Pulau Jawa harus tetap dipertahankan untuk tetap menjadi lahan sawah
demi mendukung kedaulatan pangan nasional dimana kekurangan produktivitasnya
dapat didukung dengan perluasan lahan di luar pulau Jawa misalnya Merauke yang
memiliki potensi untuk dikonversi dan digunakan sebagai lahan sawah. Pengalihan
pusat pengembangan pangan di luar Jawa merupakan kebijakan yang tidak tepat.
Karena dilihat dari daya dukung lahannya, pulau Jawa merupakan pulau yang hampir dapat seluruhnya dikembangkan
untuk pertanian pangan.
Diperlukan evaluasi sumberdaya lahan yang detail pada lokasi yang akan
dikembangkan untuk lahan persawahan. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan lahan
sawah yang termasuk kedalam lahan basah memiliki ciri karakteristik yang
berbeda dari lahan kering. Maka dari itu pengembangan lahan sawah pada lokasi
yang belum pernah dijadikan lahan sawah harus dilakukan pada lahan yang sesuai
dan pengelolaan yang tepat.
Ekstensifikasi lahan sawah di pulau Papua
memerlukan kajian lebih mendalam terkait dengan aspek fisik wilayah dan sosial
– ekonomi masyarakat Papua. Fisik wilayah di pulau Papua harus sesuai untuk
pengembangan lahan persawahan jika ingin dikembangkan sebagai daerah penghasil
pangan nasional. Hal tersebut harus dilakukan untuk menghindari degradasi
wilayah akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai. Kondisi sosial – ekonomi
masyarakat di pulau Papua perlu untuk diperhatikan lebih mendalam. Pengembangan
lahan persawahan memerlukan dukungan para petani lokal. Selain itu dari sisi
ekonomi pengembangan lahan persawahan memerlukan biaya yang besar mengingat
dikawasan Indonesia Timur transportasi menjadi faktor penting yang perlu untuk
dipertimbangkan. Perencanaan pulau Papua untuk menjadi daerah penghasil pangan
merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan
pangan di Indonesia. Sudah seharusnya dalam perencanaan dan pelaksanaannya
diperlukan suatu kajian yang matang agar upaya ini dapat mewujudkan kedaulatan
pangan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ahn,
P M. 1993. Tropical soil and fertilizer use. Intermediate Tropical Agriculture Series. Longman Sci. & Tech.
Malaysia.
De
Datta, S K. 1981. Principles and
Practices of Rice Production. New York (USA): John Wiley and Sons.
Irawan,
B. 2003. Konversi lahan sawah di Jawa dan dampaknya terhadap produksi padi. In:
F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Ed.). Ekonomi padi dan beras
Indonesia. Badan Litbang Pertanian. pp. 295 – 325.
Kanno,
I. 1978. Genesis of rice soils with special reference to profil development. Soil and Rice. IRRI. Los Banos, alguna,
Philippines.
Kawaguchi
K, dan K Kyuma. 1977. Paddy Soils in
Tropical Asia: Their Material Nature and Fertility. Monograph of the Center
for Southeast Studies Kyoto University. The University Press of Hawaii.
Honolulu USA.
Kasryno F, dan Soeparno H. 2012. Pelaksanaan MP3EI koridor Jawa akan menyebabkan
ketahanan pangan nasional semakin parah [Internet]. Diunduh pada (2014 Oktober
9). Tersedia pada: http://litbang.pertanian.go.id
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta (ID).
Situmorang
R, dan U Sudadi. 2001. Tanah Sawah.
Bogor (ID): DITSL IPB.
Subiksa, I G M. 2008. Prospek pengembangan pangan rice estate di Kabupaten Merauke:
tinjauan dari aspek pengelolaan tanah dan air. Jurnal Sumberdaya Lahan.
Widiatmaka,
W Ambarwulan, M Y J Purwanto, Y Setiawan, dan H Effendi. 2013. Evaluasi
kesesuaian lahan untuk padi sawah menggunakan automated land evaluation system
di sentra produksi padi Karawang bagian utara, provinsi Jawa Barat. Seminar Hasil – hasil PPM IPB 2013. Vol.
II: 476-493.
Komentar
Posting Komentar