KAJIAN PERENCANAAN INDONESIA MENUJU KEDAULATAN PANGAN (STUDI KASUS: EKTENSIFIKASI LAHAN SAWAH DI PULAU PAPUA)

Ika Mustika Sundari (A1412007), Clara Juliana Rahayu (A1412023),
Darmawan (A14120026), Tedhi Dana Pamuji (A14120033)2, Riniawati (A14120044),
Christian Aldadwianto (A14120047), Siti Hajar (A14120058),
Triawan Wicaksono (A14120060), Dwi Nirmla Swabawati (A14120069),
Lukman Chakim (A14120085), Ahya Salam (A14120083),
Violeta Ekanjani (A14120084), Syafitri Indriaswari (A14120100)

Kelompok Zeolit
Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah 2015
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK
Pemenuhan kebutuhan pangan merupakan kewajiban pemerintah negara Republik Indonesia. Pangan pokok yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah beras. Padi merupakan tanaman penghasil beras yang memerlukan lahan khusus untuk budidayanya. Lahan sawah merupakan lahan dimana padi dapat dibudidayakan. Tanah sawah merupakan tanah dengan kondisi tergenang yang secara kimiawi akan mengalami proses reduksi-oksidasi selama masa budidaya tanaman padi. Keadaan yang demikian menyebabkan lahan sawah memerlukan pengelolaan yang khusus. Saat ini Pulau Jawa merupakan sentra produksi pangan nasional yang menyuplai lebih dari separuh kebutuhan pangan nasional. Namun demikian konversi lahan sawah secara besar – besaran terjadi di Pulau Jawa akibat perkembangan sektor industri diluar pertanian. Untuk meyediakan lahan persawahan diluar Pulau Jawa maka pemerintah melalui MP3EI mencanangkan untuk membuak lahan persawahan di Pulau Papua. Selain itu di MP3EI juga tidak mencanangkan Pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan melainkan sebagai sentra industri. Maka dari itu diperlukan suatu kajian mengenai keseuaian lahan di Pulau Papua untuk lahan persawahan dan mengkaji program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan di Pulau Jawa. Hal ini diperlukan guna mengetahui sejauh mana perencanaan tersebut dapat mendukung terwujudnya kedaulatan pangan di Indonesia.
Abstrak: Kesesuian Lahan, MP3EI, Sawah


LATAR BELAKANG

Pangan merupakan kebutuhan paling mendasar yang harus dipenuhi setiap saat. Pemenuhan  kebutuhan  pangan  nasional sampai saat ini  terus mengalami  peningkatan  karena  adanya  pertumbuhan  konsumsi  pangan  dan  pertambahan  penduduk yang telah mencapai lebih dari 250 juta jiwa. Ketersediaan pangan yang lebih kecil dibandingkan kebutuhannya dapat menciptakan ketidak stabilan ekonomi serta permasalahan sosial dan politis.
[1] Makalah disajikan pada Presentasi Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB.  Ruang Seminar DITSL IPB, Kampus IPB Darmaga, Selasa 29 September 2015.
2Ketua Kelompok Zeolit, mahasiswa peserta Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah IPB. tedhidanap@gmail.com.

Sampai saat ini, beras  merupakan  komoditas  yang menduduki  posisi  strategis  dalam  proses  pembangunan  pertanian. Masyarakat Indonesia telah  menjadikan beras sebagai  makanan  pokok,  sehingga  beras  menjadi  sektor  ekonomi  strategis  bagi perekonomian dan juga ketahanan pangan nasional. Ketersediaan tanah untuk lahan pertanian merupakan hal yang sangat penting. Defisit lahan pertanian akan menjadi ancaman serius bagi pencapaian ketahanan pangan nasional. Penyediaan tanah di Indonesia saat ini bukanlah persolaan yang mudah, peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perkenonomian menyebabkan kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian saat ini cenderung terus menerus meningkat, sehingga alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian semakin sulit dihindari. Data BPS menyebutkan bahwa setiap tahun 80.000 Ha lahan pertanian hilang atau sekitar 220 Ha lahan setiap harinya. Kondisi serupa inilah yang dapat menjadi pemicu kondisi kerawanan pangan nasional.
Dalam rangka mencapai kedaulatan pangan tersebut, negara harus mandiri dan berdaulat dalam menentukan kebijakan pangannya sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya. Strategi agar ketersediaan  pangan  tetap  terjamin pemerintah telah  melakukan berbagai cara salah satunya melaui pencetakan sawah baru (ektensifikasi pertanian). Kementerian Pertanian Republik Indonesia melalui Direktorat Perluasan dan Optimasi Lahan - Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), melaksanakan pembukaan lahan-lahan pertanian di berbagai daerah. Perluasan areal tanaman pangan melalui pencetakan sawah baru, diarahkan agar mampu menumbuhkan sentra pangan baru di berbagai wilayah yang dikelola secara ekonomis, sehingga cadangan pangan nasional dapat diperkuat, lapangan kerja dapat tercipta dan akhirnya dapat menempatkan petani dan pertanian rakyat menjadi sokoguru perekonomian Indonesia. Target dari pencetakan sawah baru adalah wilayah-wilayah di Indonesia yang masih memiliki lahan yang luas antara lain: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Namun Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam dokumen MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), sentra pengembangan pangan dipusatkan di Provinsi Papua dan Sulawesi. Pulau Jawa yang sudah menjadi sentra pangan dirubah menjadi sentra pengembangan industri dan jasa. Hal ini dapat memicu terjadinya konversi lahan dan mengancam kedaulatan pangan nasional.
Pulau papua merupakan salah satu pulau besar di Indonesia. Pulau Papua memiliki kekayaan sumberdaya alam yang tak ternilai. Selama ini di pulau Papua pengembangan pertanian pangan belum banyak dilakukan. Melalui dokumen MP3EI pemerintah ingin menjadikan Papua sebagai basis produksi pangan nasional. Namun demikian hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan dikarenakan berbagai faktor seperti kesesuaian lahan untuk pertanian pangan dan budaya masyarakat Papua tentang pertanian yang berbeda dari masyarakat petani di pulau Jawa. Kajian ini bertujuan untuk membahas kelayakan pulau Papua sebagai daerah pengahasil pangan nasional dan strategi untuk mempertahankan pulau Jawa sebagai daerah penghasil pangan nasional.

TANAH SAWAH

Padi merupakan tanaman utama yang ditanam oleh petani di Indonesia. Tanaman padi dapat digolongkan menjadi padi sawah dan padi gogo. Padi sawah merupakan jenis padi utama yang ditanam oleh para petani di Indonesia. Tanah sawah memiliki karakteristik yang berbeda dari tanah pada lahan kering. Menurut Situmorang dan Sudadi (2001) sawah adalah tanah yang dibatasi oleh pematang yang digunakan untuk penanaman padi dan diairi dengan pengairan teknis atau tadah hujan. Sawah tidak hanya digunakan untuk menanam padi namun pada waktu–waktu tertentu juga ditanami palawija atau tanaman lainnya. Ahn (1993) menyatakan bahwa terdapat lima pola pertanaman padi pada daerah tropik yaitu irigasi, tadah hujan, sebar langsung pada sawah irigasi, padi apung, dan pemanfaatan air hujan di dataran tinggi/daerah berbukit. Tanah sawah umumnya terdapat pada dataran rendah yang terendam secara alami, beberapa jenis tanah yang mempunyai ketersediaan air cukup, dan tanah–tanah yang dapat diairi dengan air irigasi (Kawaguchi dan Kyuma, 1977).
Menurut Situmorang dan Sudadi (2001)  tanah sawah yang ada di Indonesia berasal dari berbagai order tanah yaitu Entisol, Vertisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol. Karakteristik morfologi tanah sawah berbeda dengan tanah yang tidak disawahkan walaupun berasal dari bahan induk yang sama, perbedaan pada karakteristik tanah tersebut sangat tergantung pada kondisi lingkungannya. Menurut Kanno (1978) sifat– sifat morfologi tanah sawah adalah adanya horizon eluviasi yang berada dalam keadaan tereduksi, adanya horizon iluviasi yang banyak mengandung karatan besi dan mangan, dan secara periodik horizon eluviasi mengalami reduksi dan oksidasi. Secara umum kondisi reduksi–oksidasi pada tanah sawah merupakan faktor penting dalam kondisi kimia tanah pada tanah sawah. Perubahan sifat kimia dan elektrokimia yang penting pada tanah sawah adalah: 1) kehilangan oksigen, 2) reduksi atau penurunan potensial redoks (Eh), 3) konvergensi pH tanah, 4) peningkatan Daya Hantar Listrik (DHL), 5) reduksi Fe dan Mn, 6) reduksi NO3- dan NO2-, 7) reduksi SO42-, 8) peningkatan sumber dan ketersediaan N, 9) peningkatan ketersediaan P, Si, dan Mo, 10) pengaruh konsentrasi Zn dan Cu larut dalam air, dan 11) pembentukan CO2, CH4, dan hasil–hasil dekomposisi bahan organik seperti asam organik dan H2S (De Datta, 1981).

MASTERPLAN PERCEPATAN DAN PERLUASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (MP3EI)

            Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) adalah perencanaan besar yang dibuat oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk melaksanakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia dari tahun 2011 sampai 2025. Melalui pelaksanaan MP3EI, Indonesia ditargetkan untuk menjadi negara maju pada tahun 2025. Terdapat tiga pilar utama pelaksanaan MP3EI yaitu strategi peningkatan potensi wilayah melalui pengembangan pusat -pusat pertumbuhan di dalam koridor ekonomi, strategi memperkuat konektivitas nasional, serta strategi meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia dan IPTEK.
            Pembangunan koridor ekonomi Indonesia dilaksanakan berdasarkan  potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Terdapat enam koridor ekonomi sebagai berikut:
1.      Koridor  Ekonomi Sumatera sebagai “ Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”
2.      Koridor Ekonomi Jawa sebagai “ Pendorong Industri dan Jasa Nasional”
3.      Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai “Pusat Prdoduksi dan Pengolahan Hasil Tambang dan Lumbung Energi Nasional”
4.      Koridor Ekonomi Sulawesi sebagai “Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional”
5.      Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional”
6.      Koridor Ekonomi Papua sebagai “Pusat Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”
            Berdasarkan enam koridor ekonomi tersebut terjadi perubahan pemusatan kegiatan pertanian pangan yang selama ini di pulau Jawa menjadi di Pulau Sulawesi dan Papua. Pembangunan koridor ekonomi di pulau Jawa sendiri digunakan sebagai pusat pendorong jasa industri dan jasa nasional. Pemusatan kegiatan pertanian pangan di pulau Papua dipusatkan di Merauke. Selama ini pulau Papua tidak memiliki produksi pertanian pangan sebesar pulau Jawa akibat dari karakteristik dan kemampuan lahannya yang tidak sebaik di pulau Jawa. Pulau Jawa banyak dikelilingi gunung api sehingga memiliki banyak tanah yang subur dan dijadikan pusat kegiatan pertanian pangan sampai saat ini. Jika pusat kegiatan pertanian pangan di pulau Jawa dipindahkan ke pulau Papua maka perlu upaya dua kali lipat untuk menghasilkan produksi pangan yang setara secara kuantitas jika diproduksi di pulau Jawa.

Gambar 1. Koridor Ekonomi Papua – Maluku pada MP3EI
Sumber: Dokumen MP3EI Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011

POTENSI, PELUANG, DAN KENDALA MP3EI DI KABUPATEN MERAUKE, PAPUA SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN PANGAN

Kabupaten Merauke memiliki sekitar 1.9 juta Ha lahan basah dan 1.2 juta Ha diantaranya sesuai untuk pengembangan tanaman padi. Lahan basah yang potensial untuk pengembangan dibagi dalam 206 klaster (kawasan sentra produksi). Setiap klaster luasnya berkisar antara 5000 sampai 55000 Ha dimana 4000 Ha diantaranya akan dikembangkan untuk sawah dan sisanya adalah komponen pendukung seperti peternakan, perkebunan, industri pengolahan, dan infrastruktur. Sebagian besar (80.25%) lahan di Kabupaten Merauke memiliki topografi yang datar (lereng kurang dari 3%) dan ketersediaan air cukup untuk usaha pertanian, termasuk padi sawah. Dari potensi lahan basah seluas 1.937.291 Ha yang baru diusahakan untuk sawah 22.954 Ha.Sisanya seluas 1.1914.337 Ha lahan basah masih belum termanfaatkan dan terbuka lebar untuk dikembangkan menjadi persawahan. Berdasarkan kelas kesesuaian, 1.2 juta Ha dari 1.9 juta Ha lahan basah tersebut tergolong memiliki potensi sedang sampai tinggi. Sebagian dari area tersebut memiliki tutupan lahan berupa rumput rawa, alang-alang, dan semak belukar sehingga pembukaan lahan untuk sawah tidak perlu merusak hutan. Lahan basah yang berpotensi untuk pengembangan rice estate berada pada landform alluvial marine dan fluvio marine.
Kabupaten Merauke dapat dikembangkan sebagai sentra produksi padi untuk memasok wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sampai saat ini wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) masih mengalami kekurangan produksi sekitar 2 juta ton di tingkat nasional. KTI masih mengandalkan pasokan beras yang dikirim dari Pulau Jawa, hal ini memiliki beban pada biaya angkut yang tinggi. Jika produksi dilakukan di Merauke, harapannya konsumen akan mendapat harga beras yang lebih murah.
Beberapa tempat di wilayah Merauke diketahui memiliki masalah terkait dengan kesuburan tanah dan ketersediaan air baik kuantitas maupun kualitas. Sistem pengelolaan air menjadi titik paling lemah karena adanya konflik kepentingan antara petani padi dengan pencari ikan. Untuk mengatasi kendala fisik lahan pengelolaan hara yang baik dan seimbang juga teknologi pengelolaan air dapat menjadi solusi (Subiksa, 2008).
ULASAN

Pemindahan wilayah pusat pengembangan pangan ke Provinsi Papua (Kabupaten Merauke) dalam MP3EI tidak realistis dalam mendukung kedaulatan pangan. Berdasarkan pertimbangan agro-ekosistem, sentra produksi utama komoditi pangan dan hortikultura adalah pulau Jawa (pantai utara Jawa dan pantai selatan Jawa Tengah) yang merupakan daerah aliran sungai besar. Aliran sungai yang relatif datar dan luas, seperti daerah aliran sungai Citarum yang mampu mengairi sawah mencapai 356.000 Ha, daerah aliran sungai Bengawas Solo mengairi sawah seluas 454.000 Ha, daerah aliran sungai Brantas mengairi sawah seluas 233.000 Ha, daerah aliran sungai Cimanuk-Cisanggarung mengairi sawah seluas 305.000 Ha. Sejak zaman dahulu kala leuhur bangsa Indonesia yang menempati pulau Jawa telah membuat pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan khusunya padi. Tanaman padi merupakan tanaman yang ditanam dilahan basah yaitu pada lahan sawah. Seperti yang dikemukakan oleh Situmorang dan Sudadi (2001) sawah adalah tanah yang dibatasi oleh pematang yang digunakan untuk penanaman padi dan diairi dengan pengairan teknis atau tadah hujan. Maka dari itu ketersediaan air merupakan faktor yang sangat penting dalam mengembangkan lahan sawah. Pulau Jawa memiliki sungai – sungai besar yang dapat menyediakan air bagi lahan sawah. Untuk itu di pulau dibangun waduk –waduk yang berfungsi untuk mengelola air bagi lahan sawah. Faktor ketersediaan air bagi tanah sawah sangat mempengaruhi reaksi kimia dan elektrokimia dalam tanah sawah. Jika ketersediaan air kurang maka dapat berpengaruh pada sifat kimia tanah sawah. Terdapat kemungkinan jika air tidak tersedia secara cukup maka berbagai reaksi kimia pada tanah sawah dapat menimbulkan kekurangan ketersediaan unsur hara bagi tanaman padi.
Kenyataanya sampai dengan saat ini pemenuhan kebutuhan terhadap pangan masih tertumpu di pulau Jawa. Pulau Jawa yang luasnya 7% luas daratan Indonesia menyediakan lebih dari separuh kebutuhan pangan nasional. Disisi lain menurut Widiatmaka et al (2013) Pulau Jawa mengalami ancaman serius yaitu konversi lahan sawah ditengah majunya pertumbuhan industri di Pulau Jawa. Irawan (2003) menyatakan lahan sawah di Pulau Jawa yang terkonversi menjadi penggunaan lain dalam periode 1978-1998 saja sebesar 1.07 juta Ha, atau dengan pengurangan sebesar 8.000 Ha per tahun. Konversi lahan di Pulau Jawa yang sangat tinggi diperkirakan akan berlanjut mengingat tingginya tekanan kebutuhan terhadap lahan akibat padatnya penduduk dan peningkatan intensitas pembangunan (Widiatmaka et al 2013).
Pulau Jawa dalam dokumen MP3EI tidak ada investasi sektor pertanian. Koridor ekonomi di Pulau Jawa difokuskan pada pengembangan sektor industri dan jasa dan hal ini akan membuka celah terjadinya konversi lahan dalam skala besar untuk mendukung percepatan pembangunan industri dan jasa. Jika tetap dipertahankan, pencapaian kemandirian dan kedaulatan pangan akan sulit dicapai. Menurut Kasryono dan Soeparno (2012), pencapaian kemandirian dan kedaulatan pangan memerlukan luasan lahan sawah seluas 2 juta Ha menjelang tahun 2025 untuk menghadapi pertambahan penduduk. Pulau Jawa sebagai sentra produksi pangan harus dipertahankan dengan dukungan oleh perluasan lahan sawah di luar pulau Jawa, seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan Papua.
Kehilangan lahan di Pulau Jawa harus diganti dengan 1.5- 2 kalinya di luar Jawa. Hal ini terlihat dari data produktivitas padi berdasarkan basis data kementrian pertanian tahun 2012, pulau Jawa memiliki produktivitas padi yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya. Perencanaan pusat pengembangan pangan dalam MP3EI di Kabupaten Merauke, Papua ini perlu ditinjau ulang karena  luas lahan di Kabupaten Merauke tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan nasional. Seharusnya pulau Jawa tetap menjadi sentra pengembangan pangan nasional.
Dilihat dari kondisi tanah dan air yang ada di pulau Papua terutama Kabupaten Merauke, tidak semua lahan dapat dikonversi dan digunakan untuk lahan sawah. Hanya 1.2 juta Ha dari 4.6 juta Ha luas keseluruhan Kabupaten Merauke yang sesuai untuk digunakan sebagai lahan sawah. Berbeda dengan pulau Jawa dimana hampir seluruh tanah memiliki daya dukung untuk digunakan sebagai lahan sawah, baik dari aspek kesuburan tanah maupun dari ketersediaan air dan kondisi topografi wilayahnya.

KESIMPULAN

Pulau Jawa harus tetap dipertahankan untuk tetap menjadi lahan sawah demi mendukung kedaulatan pangan nasional dimana kekurangan produktivitasnya dapat didukung dengan perluasan lahan di luar pulau Jawa misalnya Merauke yang memiliki potensi untuk dikonversi dan digunakan sebagai lahan sawah. Pengalihan pusat pengembangan pangan di luar Jawa merupakan kebijakan yang tidak tepat. Karena dilihat dari daya dukung lahannya, pulau Jawa merupakan pulau yang hampir dapat seluruhnya dikembangkan untuk pertanian pangan. Diperlukan evaluasi sumberdaya lahan yang detail pada lokasi yang akan dikembangkan untuk lahan persawahan. Hal tersebut dikarenakan pengelolaan lahan sawah yang termasuk kedalam lahan basah memiliki ciri karakteristik yang berbeda dari lahan kering. Maka dari itu pengembangan lahan sawah pada lokasi yang belum pernah dijadikan lahan sawah harus dilakukan pada lahan yang sesuai dan pengelolaan yang tepat.
Ekstensifikasi lahan sawah di pulau Papua memerlukan kajian lebih mendalam terkait dengan aspek fisik wilayah dan sosial – ekonomi masyarakat Papua. Fisik wilayah di pulau Papua harus sesuai untuk pengembangan lahan persawahan jika ingin dikembangkan sebagai daerah penghasil pangan nasional. Hal tersebut harus dilakukan untuk menghindari degradasi wilayah akibat penggunaan lahan yang tidak sesuai. Kondisi sosial – ekonomi masyarakat di pulau Papua perlu untuk diperhatikan lebih mendalam. Pengembangan lahan persawahan memerlukan dukungan para petani lokal. Selain itu dari sisi ekonomi pengembangan lahan persawahan memerlukan biaya yang besar mengingat dikawasan Indonesia Timur transportasi menjadi faktor penting yang perlu untuk dipertimbangkan. Perencanaan pulau Papua untuk menjadi daerah penghasil pangan merupakan salah satu upaya pemerintah Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia. Sudah seharusnya dalam perencanaan dan pelaksanaannya diperlukan suatu kajian yang matang agar upaya ini dapat mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn, P M. 1993. Tropical soil and fertilizer use. Intermediate Tropical Agriculture Series. Longman Sci. & Tech. Malaysia.
De Datta, S K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. New York (USA): John Wiley and Sons.
Irawan, B. 2003. Konversi lahan sawah di Jawa dan dampaknya terhadap produksi padi. In: F. Kasryno, E. Pasandaran, dan A.M. Fagi (Ed.). Ekonomi padi dan beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. pp. 295 – 325.
Kanno, I. 1978. Genesis of rice soils with special reference to profil development. Soil and Rice. IRRI. Los Banos, alguna, Philippines.
Kawaguchi K, dan K Kyuma. 1977. Paddy Soils in Tropical Asia: Their Material Nature and Fertility. Monograph of the Center for Southeast Studies Kyoto University. The University Press of Hawaii. Honolulu USA.
Kasryno F, dan Soeparno H. 2012. Pelaksanaan MP3EI koridor Jawa akan menyebabkan ketahanan pangan nasional semakin parah [Internet]. Diunduh pada (2014 Oktober 9). Tersedia pada: http://litbang.pertanian.go.id
Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta (ID).
Situmorang R, dan U Sudadi. 2001. Tanah Sawah. Bogor (ID): DITSL IPB.
Subiksa, I G M. 2008. Prospek pengembangan pangan rice estate di Kabupaten Merauke: tinjauan dari aspek pengelolaan tanah dan air. Jurnal Sumberdaya Lahan.

Widiatmaka, W Ambarwulan, M Y J Purwanto, Y Setiawan, dan H Effendi. 2013. Evaluasi kesesuaian lahan untuk padi sawah menggunakan automated land evaluation system di sentra produksi padi Karawang bagian utara, provinsi Jawa Barat. Seminar Hasil – hasil PPM IPB 2013. Vol. II: 476-493.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIGITASI PETA DIGITAL

SOIL AMENDMENT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIA

STRATEGI DAN PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT