KAJIAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN MENGENAI PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
Ika Mustika Sundari (A1412007),
Clara Juliana Rahayu (A1412023),
Darmawan (A14120026), Tedhi Dana
Pamuji (A14120033)[1], Riniawati (A14120044),
Christian Aldadwianto
(A14120047), Siti Hajar (A14120058),
Triawan Wicaksono (A14120060),
Dwi Nirmla Swabawati (A14120069),
Lukman Chakim (A14120085), Ahya
Salam (A14120083),
Violeta Ekanjani (A14120084),
Syafitri Indriaswari (A14120100)
Kelompok Zeolit
Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah 2015
Departemen
Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor
ABSTRAK
Isu penting
dalam pembangunan salah satunya adalah mengenai pertanian pangan berkelanjutan.
Seiring dengan laju konversi lahan di Indonesia yang semakin meningkat, lahan
pertanian pangan harus diprioritaskan untuk dilindungi agar kebutuhan pangan
penduduk Indonesia dapat terpenuhi. Untuk mengendalikan konversi lahan
pertanian ke non pertanian telah diterbitkan Undang–undang No 41 tahun 2009
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah Nomor
1 Tahun 2011
tentang Penetapan
dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
Namun kebijakan yang diambil pemerintah ini masih belum
dapat membatasi terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Tujuan dari
pengkajian peraturan ini adalah untuk mengetahui perbandingan substansi yang
ada pada kedua peraturan tersebut dengan fakta yang ada di lapangan.
Berdasarkan hasil studi kasus yang dilakukan diperoleh fakta bahwa penerapan
kedua peraturan tersebut masih sangat lemah. Alih fungsi lahan pertanian pangan
terjadi dikarenakan berbagai faktor seperti belum pahamnya pejabat daerah
mengenai kedua peraturan tersebut, belum dimasukkannya lahan pertanian pangan
berkelanjutan dalam RTRW, pejabat
daerah dengan gampangnya memberikan izin kepada investor untuk membuka usaha, kebutuhan
lahan untuk permukiman semakin tinggi, lemahnya aturan mengenai alih fungsi
lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk kepentingan umum, dan kurangnya
perhatian pemerintah pengambil kebijakan atas kepentingan umum apa saja yang
diizinkan untuk dilakukan alih fungsi lahan.
Kata kunci: Alih fungsi, Kebijakan, Konflik
LATAR
BELAKANG
Indonesia merupakan negara tropis dengan beragam sumberdaya
alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyatnya. Negara memiliki
kewajiban untuk menyediakan kebutuhan hidup dasar bagi warga negaranya yaitu
berupa pangan, sandang, dan papan. Pangan merupakan kebutuhan yang paling
mendasar bagi kehidupan manusia. Apabila tidak dikelola dengan baik maka
ancaman krisis pangan akan dapat terjadi di Indonesia. Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari
bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia sebagai negara agraris
perlu menjamin penyediaan lahan pertanian
pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan. Hak atas pangan merupakan hak
asasi setiap warga negara berarti
negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Meningkatnya pertambahan penduduk serta
perkembangan ekonomi dan industri yang mengakibatkan
terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah
mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan pangan.
Sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan dengan
penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya
agraria, perlu dilakukan perlindungan lahan pertanian pangan
secara berkelanjutan. Alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi lahan
non-pertanian terjadi secara masif bahkan pada daerah yang merupakan lumbung
pangan di Indonesia. Undang–undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2011 tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian
berkelanjutan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi lahan
pertanian pangan berkelanjutan. Namun demikian adanya kedua regulasi tersebut
masih belum secara optimal mengurangi alih fungsi lahan pertanian pangan.
Beberapa daerah di Indonesia mengalami konversi lahan pertanian pangan menjadi
lahan dengan penggunaan lain seperti bangunan, tempat
wisata, dan lain sebagainya. Maka dari itu diperlukan suatu pengkajian mengenai
kedua peraturan tersebut berdasarkan fakta
yang ada di lapang.
UNDANG–UNDANG
NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG
PERLINDUNGAN
LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
Undang–undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan mengatur tentang berbagai regulasi untuk
pelaksanaannya di lapang. Lahan pertanian pangan
berkelanjutan adalah bidang lahan
pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten
guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan nasional. Lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian
pangan berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang
surut, dan non-pasang surut
(lebak), dan/atau lahan tidak beririgasi. Berdasarkan ketiga kriteria lahan
tersebut maka dapat dikatakan bahwa lahan pertanian pangan berkelanjutan
merupakan lahan dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dari mulai rawa pasang
surut hingga sawah beririgasi. Lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan
adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan
ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian
pangan berkelanjutan pada masa yang akan datang. Kawasan pertanian pangan
berkelanjutan adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan
yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan
lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan
fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan
nasional.
Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah
perubahan fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan
pertanian pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara. Perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan,
mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan
pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Adanya konversi lahan pertanian pangan
yang besar-besaran membutuhkan adanya
tindakan perlindungan lahan pertanian pangan. Perlindungan yang dimaksudkan
adalah perlindungan yang mencakup berbagai stakeholder
seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat tani.
Ruang lingkup dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi
perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, pembinaan,
pengendalian, pengawasan, sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan
petani, pembiayaan, dan peran serta masyarakat.
Berdasarakan Pasal 9 UU No. 1 tahun 2009, perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Perencanaan lahan
pertanian pangan berkelanjutan dilakukan pada kawasan pertanian pangan
berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan
pertanian pangan berkelanjutan. Pasal
18 UU No. 1 tahun 2009 menjelaskan bahwa penetapan perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan dilakukan dengan penetapan kawasan pertanian pangan
berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan diluar kawasan
pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan
di dalam dan di luar kawasan pertanian
pangan berkelanjutan.
Pengembangan terhadap kawasan pertanian pangan berkelanjutan
dan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi intensifikasi dan
ekstensifikasi lahan (Pasal 27 UU No. 1 tahun 2009). Penelitian lahan
pertanian pangan berkelanjutan sekurang-kurangnya meliputi pengembangan
penganekaragaman pangan, identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan, pemetaan
zonasi lahan pertanian pangan berkelanjutan, inovasi pertanian, fungsi
agroklimatologi dan hidrologi, fungsi ekosistem, dan sosial budaya, dan kearifan lokal (Pasal 30 UU No. 1 tahun 2009). Pemanfaatan lahan
pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan menjamin konservasi tanah dan
air (Pasal 33 UU No. 1 tahun 2009). Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melakukan pembinaan kepada setiap
orang yang terikat dengan pemanfaatan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan
perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan (Pasal 35 UU No. 1 tahun 2009). Pengendalian lahan
pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
melalui pemberian insentif, disinsentif, mekanisme perizinan, proteksi, dan
penyuluhan (Pasal 37 UU No. 1 tahun 2009).
Pengawasan dilakukan secara berjenjang mulai dari pemerintah
pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dengan cara
pelaporan, pemantauan dan evaluasi (Pasal
54 dan Pasal 55 UU No. 1 tahun 2009). Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan sistem informasi lahan pertanian
pangan berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat yang dilakukan secara
terpadu dan terkoordinasi sampai kecamatan dan desa (Pasal 58 dan Pasal 59 UU No. 1 tahun 2009). Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melindungi dan memberdayakan petani, kelompok tani, koperasi tani, serta asosiasi petani seperti menjamin
harga komoditas pertanian, memperoleh sarana dan prasarana produksi pertanian,
mengutamakan hasil pertanian pangan dalam negeri, dan ganti rugi akibat gagal panen (Pasal 61 dan Pasal 62 UU No. 1 tahun 2009). Pembiayaan lahan pertanian pangan
berkelanjutan dibebankan pada APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/ kota serta dapat diperoleh melalui dana
tanggung jawab sosial dan lingkungan dari badan usaha (Pasal 66 UU No. 1 tahun 2009). Masyarakat berperan serta dalam
perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik secara
individu maupun berkelompok melalui tahapan perencanaan, pengembangan,
penelitian, pengawasan, pemberdayaan petani, dan/atau pembiayaan (Pasal 67 UU No. 1 tahun 2009).
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 1 TAHUN
2011
TENTANG
PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI
LAHAN
PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN
Semakin menurunnya ketersediaan lahan
pertanian di Indonesia ditimbulkan
oleh adanya alih fungsi lahan yang semakin besar. Pemerintah perlu membuat peraturan pemerintah Republik
Indonesia tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan. Peraturan
pemerintah ini berisi nomenklatur mengenai penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan, alih fungsi
lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan pihak-pihak yang terkait dengan ruang
lingkup ini. Tujuan dari Peraturan
Pemerintah No. 1 tahun 2011 adalah untuk mewujudkan dan menjamin
tersedianya lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Penetapan lahan pertanian pangan
berkelanjutan meliputi kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan
cadangan pertanian pangan berkelanjutan (Pasal 4). Dalam penetapan lahan pertanian
pangan berkelanjutan terdapat kriteria dan persyaratan serta tata cara
penetapannya. Kriteria yang harus dipenuhi adalah memiliki hamparan
lahan dengan luasan tertentu (minimal 20 hektar) dan dapat menghasilkan pangan
pokok dengan tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sebagian
besar masyarakat setempat (Pasal 8). Adapun prasyarat yang juga harus dipenuhi
adalah berada di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan pertanian dan
termuat dalam Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Pasal
9).
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian
pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang untuk dialihfungsikan. Alih
fungsi pertanian pangan berkelanjutan hanya
dapat dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam rangka pengadaan
tanah untuk kepentingan umum dan apabila terjadi bencana (Pasal 35). Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang
dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada
kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air
minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan,
bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan
umum, cagar alam, pembangkit dan jaringan listrik, serta kepentingan umum lain
yang ditetapkan dalam undang-undang dan harus ada dalam rencana tata ruang
wilayah dan/atau rencana rinci tata ruang (Pasal 36).
Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat
dilakukan jika memenuhi prasyarat berupa memiliki kajian kelayakan strategis,
mempunyai rencana alih fungsi lahan, pembebasan hak kepemilikan atas tanah, dan
ketersediaan lahan pengganti terhadap lahan yang dialihfungsikan (Pasal 39,
tiap poin dijelasan lebih rinci pada pasal 40 sampai 45).
Selain itu, dijelaskan juga tata cara serta ganti rugi alih fungsi lahan
pertanian pangan berkelanjutan. Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka
pengadaannya untuk kepentingan umum atau bencana diusulkan oleh pihak yang
mengalihfungsikan lahan tersebut kepada Bupati/Walikota dalam hal lahan yang
dialihfungsikan dalam satu kabupaten/kota, Gubernur setelah mendapatkan surat
rekomendasi dari Bupati/Walikota dalam hal lahan dalam satu provinsi, Presiden
setelah mendapatkan surat rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur dalam hal
lahan yang dialihfungsikan lintas provinsi. Usulan yang dimaksudkan disampaikan
setelah mendapat persetujuan dari Menteri (Pasal 46).
KONDISI DI LAPANG MENGENAI ALIF FUNGSI LAHAN PERTANIAN
PANGAN BERKELANJUTAN, FAKTOR PENYEBAB, DAN DAMPAKNYA
Alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seperti perumahan,
perkantoran dan gedung menjadikan kondisi
pertanian di Indonesia semakin mengkhawatirkan seperti yang terjadi di Medan. Alih
fungsi lahan ini menyebabkan produksi pangan semakin menurun sementara
kebutuhan akan pangan semakin meningkat karena laju pertumbuhan penduduk yang
semakin tinggi. Beberapa contoh kasus alih fungsi lahan pertanian
yang lain seperti yang terjadi di Kabupaten Magelang (Handari et
al.
2012). Alih fungsi lahan pertanian menjadi
areal perumahan yang dilakukan oleh PT. Citra
Gading Asritama dalam pembangunan proyek perumahan Tirtasani Royal Resort
ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, menyebabkan terjadinya
kerusakan sistem irigasi dan polusi
(Amorita et al. 2014). Contoh kasus lain terjadi di daerah Delta Upang dan Delta
Telang II di Banyu Asin, dimana daerah ini semenjak tahun 1969 merupakan daerah
penghasil pangan dan penyubang 50% beras bagi Sumatera Selatan. Setelah
pembukaan akses jalan tahun 2000, tanah
diserobot oleh investor perkebunan kelapa sawit.
Hal ini menyebabkan produksi pangan menurun. Selain itu, alih fungsi lahan juga
terjadi di Kabupaten Pasaman
Barat, Sumatera Barat. Sebelum tahun 1990 daerah ini termasuk sentra
produksi beras dengan luas sawah tidak kurang dari 27.168 hektar. Kemudian terjadi
penurunan luas sawah seiring masuknya perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2005
luas sawah di Pasaman Barat tercatat 16.127 Ha.
Dalam periode tahun 2005-2007 terjadi penurunan kumulatif sejumlah 1.287
Ha, hingga sawah yang tersisa di tahun 2007 seluas 14.840 Ha dan 4.953 Ha diantaranya
ditanami jagung. Data dari Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi
Sumatra Barat menunjukkan bahwa sekitar 1.293 hektar sawah di Kabupaten Pesisir
Selatan juga berkurang dalam lima tahun terakhir akibat alih fungsi menjadi
perkebunan dan perumahan. Sawah yang tersisa hanya 30.466 Ha dengan kepemilikan lahan 0.36 Ha per rumah
tangga petani.
Salah satu langkah pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut yaitu
dengan menyusun UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU No. 41 Tahun 2009 akan melindungi lahan-lahan pertanian yang
ditetapkan masing–masing daerah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan
dalam rangka ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional sekaligus merencanakannya sebagai bagian dari penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Namun langkah kebijakan yang diambil pemerintah ini
masih belum dapat membatasi terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan untuk dimanfaatkan sektor lain selain pertanian, seperti permukiman, pasar, industri, jalan tol,
wisata, perkebunan atau lain sebagainya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan antara lain:
1.
Masih banyak
pejabat pemerintahan yang belum memahami UU No. 41 tahun 2009 terkait dengan
kondisi pangan sekarang meskipun sudah disosialisasikan ke seluruh provinsi dan kabupaten di tanah air.
2.
Belum dimasukkannya lahan yang
ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rencana tata
ruang wilayah (RTRW).
3.
Bupati
atau walikota dengan gampangnya memberikan izin kepada investor untuk membuka
usaha.
4.
Kebutuhan
lahan untuk pemukiman semakin tinggi karena laju pertumbuhan penduduk yang
semakin tinggi pula.
5.
Masih
lemahnya aturan mengenai alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk
kepentingan umum.
6.
Kurangnya
perhatian pemerintah pengambil kebijakan atas kepentingan umum apa saja yang
diizinkan untuk dilakukan alih fungsi lahan, sehingga masih banyak terjadi
miskonsepsi atas kepentingan umum yang seharusnya tidak diizinkan untuk
dilakukan alih fungsi lahan pertnian pangan berkelanjutan. Dan lain sebagainya.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian berdampak
secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan berkurangnya lahan
pertanian sehingga mempengaruhi jumlah produksi pertanian. Menurunnya produksi
pertanian akan berimplikasi pada meningkatnya harga pangan sehingga pemerintah
mengambil jalan keluar dengan melakukan impor. Kenaikan harga pangan akan
memberikan kontribusi terhadap menurunnya kesejahteraan masyarakat. Secara
jangka panjang, alih fungsi lahan pertanian akan menimbulkan semakin
terpuruknya perekonomian masyarakat desa, sedangkan pertanian merupakan tulang
punggung utama perekonomian masyarakat desa. Menyempitnya lahan pertanian
berarti akan mempersempit lahan pekerjaan masyarakat desa.
UPAYA PENGAMBILAN KEBIJAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN
PEMERINTAH DAN DIDUKUNG OLEH MASYARAKAT
Mengigat dampak yang ditimbulkan
oleh adanya konversi lahan yang begitu luas, maka perlu dilakukan upaya-upaya
pengendalian. Menurut Harjono (2005), upaya pengendalian konversi lahan
pertanian merupakan sebuah sistem yang melibatkan peraturan dan pelakunya. Diperlukan adanya keterkaitan misi antar
instansi agar dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam rangka
pengendalian lahan pertanian dan perlu adanya sosialisasi pada masyarakat akan
pentingnya menjaga kelestaraian lahan pertanian demi ketahanan pangan.
Pemerintah seharusnya segera memasukkan
lahan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam tiap
rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional,
provinsi dan kabupaten/kota agar tidak terjadi penyalahgunaan fungsi
lahan pertanian dan lebih tegas menerapkan kebijakan yang telah dibuat. Seperti yang telah dilakukan oleh
Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah yang
melakukan penataan ruang untuk mewujudkan Kabupaten Magelang menjadi sentra
agrobisnis berbasis pertanian, pariwisata,
dan industri yang mengutamakan pemanfaatn potensi lokal melalui sinergitas pembangunan perdesaan-perkotaan
yang memperhatikan pelestarian fungsi wilayah sebagai daerah peresapan air.
Menurut Simatupang et al.
(2003), penetapan lahan pertanian abadi
merupakan salah satu opsi kebijakan yang oleh sebagian pihak dianggap paling
tepat untuk mencegah proses alih fungsi lahan pertanian. Jika hal ini bisa
dilaksankan secara efektif maka kegiatan konversi lahan pertanian tidak akan
terjadi.
Upaya lain untuk mencegah
konversi lahan adalah pemerintah harus memperketat perizinan alih fungsi lahan
dan menetapkan
sanksi kepada investor-investor yang telah mengalihfungsikan lahan pertanian
tetapi tidak mengikuti atau mematuhi aturan yang telah tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 01 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan (yang dijelaskan pada Pasal
39, tiap poin dijelaskan lebih rinci
pada pasal 40 sampai 46).
DAFTAR PUSTAKA
Amorita
et al. 2014. Pelaksanaan perlindungan lahan milik warga:
studi kasus Desa Kepuharjo, Tunjungtirta, Ngenep Kabupaten Malang. Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum-Universitas
Brawijaya. Mei 2014 (21).
Handari et al. 2012. Analisis prioritas kebijakan perlindungan
lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Magelang. Jurnal Ekosains. Vol. IV (3).
Harjono
. 2005. Evaluasi implementasi kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian
di Kabupaten Tegal [Tesis]. Semarang
(ID): Undip.
Republik Indonesia. 2009. Undang–undang Nomor 41 Tahun 2010
tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sekretariat Negara
Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan. Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Simatupang et al. 2003. Pengendalian konversi lahan
pertanian: tinjauan ulang kebijakan lahan
pertanian abadi. Prosiding Seminar
Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanain. Bogor 2 Oktober dan
Jakarta 25 Oktober 2002. 67-83.
[1] Ketua
Kelompok Zeolit,
mahasiswa peserta Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah IPB. tedhidanap@gmail.com.
Komentar
Posting Komentar