KAJIAN PERATURAN PERUNDANG–UNDANGAN MENGENAI PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Ika Mustika Sundari (A1412007), Clara Juliana Rahayu (A1412023),
Darmawan (A14120026), Tedhi Dana Pamuji (A14120033)[1], Riniawati (A14120044),
Christian Aldadwianto (A14120047), Siti Hajar (A14120058),
Triawan Wicaksono (A14120060), Dwi Nirmla Swabawati (A14120069),
Lukman Chakim (A14120085), Ahya Salam (A14120083),
Violeta Ekanjani (A14120084), Syafitri Indriaswari (A14120100)

Kelompok Zeolit
Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah 2015
Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

ABSTRAK

Isu penting dalam pembangunan salah satunya adalah mengenai pertanian pangan berkelanjutan. Seiring dengan laju konversi lahan di Indonesia yang semakin meningkat, lahan pertanian pangan harus diprioritaskan untuk dilindungi agar kebutuhan pangan penduduk Indonesia dapat terpenuhi. Untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian telah diterbitkan Undang–undang No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun kebijakan yang diambil pemerintah ini masih belum dapat membatasi terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan. Tujuan dari pengkajian peraturan ini adalah untuk mengetahui perbandingan substansi yang ada pada kedua peraturan tersebut dengan fakta yang ada di lapangan. Berdasarkan hasil studi kasus yang dilakukan diperoleh fakta bahwa penerapan kedua peraturan tersebut masih sangat lemah. Alih fungsi lahan pertanian pangan terjadi dikarenakan berbagai faktor seperti belum pahamnya pejabat daerah mengenai kedua peraturan tersebut, belum dimasukkannya lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam RTRW, pejabat daerah dengan gampangnya memberikan izin kepada investor untuk membuka usaha, kebutuhan lahan untuk permukiman semakin tinggi, lemahnya aturan mengenai alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk kepentingan umum, dan kurangnya perhatian pemerintah pengambil kebijakan atas kepentingan umum apa saja yang diizinkan untuk dilakukan alih fungsi lahan.
Kata kunci: Alih fungsi, Kebijakan, Konflik


LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara tropis dengan beragam sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyatnya. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan hidup dasar bagi warga negaranya yaitu berupa pangan, sandang, dan papan. Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi kehidupan manusia. Apabila tidak dikelola dengan baik maka ancaman krisis pangan akan dapat terjadi di Indonesia.  Lahan pertanian pangan merupakan bagian dari bumi sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak atas pangan merupakan hak asasi setiap warga negara berarti negara berkewajiban menjamin kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan. Meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri yang mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.
Sesuai dengan pembaruan agraria yang berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, perlu dilakukan perlindungan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan. Alih fungsi lahan pertanian pangan menjadi lahan non-pertanian terjadi secara masif bahkan pada daerah yang merupakan lumbung pangan di Indonesia. Undang–undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2011 tentang  penetapan dan alih fungsi lahan pertanian berkelanjutan merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Namun demikian adanya kedua regulasi tersebut masih belum secara optimal mengurangi alih fungsi lahan pertanian pangan. Beberapa daerah di Indonesia mengalami konversi lahan pertanian pangan menjadi lahan dengan penggunaan lain seperti bangunan, tempat wisata, dan lain sebagainya. Maka dari itu diperlukan suatu pengkajian mengenai kedua peraturan tersebut berdasarkan fakta yang ada di lapang.

UNDANG–UNDANG NOMOR 41 TAHUN 2009 TENTANG
PERLINDUNGAN LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Undang–undang No. 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan mengatur tentang berbagai regulasi untuk pelaksanaannya di lapang. Lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Lahan pertanian pangan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat berupa lahan beririgasi, lahan reklamasi rawa pasang surut, dan non-pasang surut (lebak), dan/atau lahan tidak beririgasi. Berdasarkan ketiga kriteria lahan tersebut maka dapat dikatakan bahwa lahan pertanian pangan berkelanjutan merupakan lahan dengan tingkat keragaman yang sangat tinggi dari mulai rawa pasang surut hingga sawah beririgasi. Lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan adalah lahan potensial yang dilindungi pemanfaatannya agar kesesuaian dan ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan pada masa yang akan datang. Kawasan pertanian pangan berkelanjutan adalah wilayah budidaya pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan lahan pertanian pangan berkelanjutan dan/atau hamparan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah perubahan fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi bukan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik secara tetap maupun sementara. Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan. Adanya konversi lahan pertanian pangan yang besar-besaran membutuhkan adanya tindakan perlindungan lahan pertanian pangan. Perlindungan yang dimaksudkan adalah perlindungan yang mencakup berbagai stakeholder seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta, dan masyarakat tani. Ruang lingkup dalam perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi perencanaan dan penetapan, pengembangan, penelitian, pemanfaatan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, sistem informasi, perlindungan dan pemberdayaan petani, pembiayaan, dan peran serta masyarakat.
            Berdasarakan Pasal 9 UU No. 1 tahun 2009, perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan berdasarkan perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan. Perencanaan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan pada kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan. Pasal 18 UU No. 1 tahun 2009 menjelaskan bahwa penetapan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan diluar kawasan pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan.
Pengembangan terhadap kawasan pertanian pangan berkelanjutan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi intensifikasi dan ekstensifikasi lahan (Pasal 27 UU No. 1 tahun 2009). Penelitian lahan pertanian pangan berkelanjutan sekurang-kurangnya meliputi pengembangan penganekaragaman pangan, identifikasi dan pemetaan kesesuaian lahan, pemetaan zonasi lahan pertanian pangan berkelanjutan, inovasi pertanian, fungsi agroklimatologi dan hidrologi, fungsi ekosistem, dan sosial budaya, dan kearifan lokal (Pasal 30 UU No. 1 tahun 2009). Pemanfaatan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan menjamin konservasi tanah dan air (Pasal 33 UU No. 1 tahun 2009). Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pembinaan kepada setiap orang yang terikat dengan pemanfaatan lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan perlindungan terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan (Pasal 35 UU No. 1 tahun 2009). Pengendalian lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah melalui pemberian insentif, disinsentif, mekanisme perizinan, proteksi, dan penyuluhan (Pasal 37 UU No. 1 tahun 2009).
Pengawasan dilakukan secara berjenjang mulai dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dengan cara pelaporan, pemantauan dan evaluasi (Pasal 54 dan Pasal 55 UU No. 1 tahun 2009). Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan sistem informasi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat yang dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi sampai kecamatan dan desa (Pasal 58 dan Pasal 59 UU No. 1 tahun 2009). Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melindungi dan memberdayakan petani, kelompok tani, koperasi tani, serta asosiasi petani seperti menjamin harga komoditas pertanian, memperoleh sarana dan prasarana produksi pertanian, mengutamakan hasil pertanian pangan dalam negeri, dan ganti rugi akibat gagal panen (Pasal 61 dan Pasal 62 UU No. 1 tahun 2009). Pembiayaan lahan pertanian pangan berkelanjutan dibebankan pada APBN, APBD provinsi, dan APBD kabupaten/ kota serta dapat diperoleh melalui dana tanggung jawab sosial dan lingkungan dari badan usaha (Pasal 66 UU No. 1 tahun 2009). Masyarakat berperan serta dalam perlindungan kawasan dan lahan pertanian pangan berkelanjutan baik secara individu maupun berkelompok melalui tahapan perencanaan, pengembangan, penelitian, pengawasan, pemberdayaan petani, dan/atau pembiayaan (Pasal 67 UU No. 1 tahun 2009).

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 1 TAHUN 2011
TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI
LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

Semakin menurunnya ketersediaan lahan pertanian di Indonesia ditimbulkan oleh adanya alih fungsi lahan yang semakin besar. Pemerintah perlu membuat peraturan pemerintah Republik Indonesia tentang penetapan dan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Peraturan pemerintah ini berisi nomenklatur mengenai penetapan lahan  pertanian pangan berkelanjutan, alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan, dan pihak-pihak yang terkait dengan ruang lingkup ini. Tujuan dari Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2011 adalah untuk mewujudkan dan menjamin tersedianya lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan meliputi kawasan pertanian pangan berkelanjutan, lahan  pertanian pangan berkelanjutan, dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan (Pasal 4). Dalam penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan terdapat kriteria dan persyaratan serta tata cara penetapannya.  Kriteria yang harus dipenuhi adalah memiliki hamparan lahan dengan luasan tertentu (minimal 20 hektar) dan dapat menghasilkan pangan pokok dengan tingkat produksi yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sebagian besar masyarakat setempat (Pasal 8). Adapun prasyarat yang juga harus dipenuhi adalah berada di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan pertanian dan termuat dalam Rencana Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Pasal 9).
Lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang untuk dialihfungsikan. Alih fungsi pertanian pangan berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum dan apabila terjadi bencana (Pasal 35). Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, pembangkit dan jaringan listrik, serta kepentingan umum lain yang ditetapkan dalam undang-undang dan harus ada dalam rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana rinci tata ruang (Pasal 36).
Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan jika memenuhi prasyarat berupa memiliki kajian kelayakan strategis, mempunyai rencana alih fungsi lahan, pembebasan hak kepemilikan atas tanah, dan ketersediaan lahan pengganti terhadap lahan yang dialihfungsikan (Pasal 39, tiap poin dijelasan lebih rinci pada pasal 40 sampai 45). Selain itu, dijelaskan juga tata cara serta ganti rugi alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka pengadaannya untuk kepentingan umum atau bencana diusulkan oleh pihak yang mengalihfungsikan lahan tersebut kepada Bupati/Walikota dalam hal lahan yang dialihfungsikan dalam satu kabupaten/kota, Gubernur setelah mendapatkan surat rekomendasi dari Bupati/Walikota dalam hal lahan dalam satu provinsi, Presiden setelah mendapatkan surat rekomendasi Bupati/Walikota dan Gubernur dalam hal lahan yang dialihfungsikan lintas provinsi. Usulan yang dimaksudkan disampaikan setelah mendapat persetujuan dari Menteri (Pasal 46).

KONDISI DI LAPANG MENGENAI ALIF FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN, FAKTOR PENYEBAB, DAN DAMPAKNYA

Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian seperti perumahan, perkantoran dan gedung menjadikan kondisi pertanian di Indonesia semakin mengkhawatirkan seperti yang terjadi di Medan. Alih fungsi lahan ini menyebabkan produksi pangan semakin menurun sementara kebutuhan akan pangan semakin meningkat karena laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi. Beberapa contoh kasus alih fungsi lahan pertanian yang lain seperti yang terjadi di Kabupaten Magelang (Handari et al. 2012). Alih fungsi lahan pertanian menjadi areal perumahan yang dilakukan oleh PT. Citra Gading Asritama dalam pembangunan proyek perumahan Tirtasani Royal Resort ternyata tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, menyebabkan terjadinya kerusakan sistem irigasi dan polusi (Amorita et al. 2014). Contoh kasus lain terjadi di daerah Delta Upang dan Delta Telang II di Banyu Asin, dimana daerah ini semenjak tahun 1969 merupakan daerah penghasil pangan dan penyubang 50% beras bagi Sumatera Selatan.  Setelah pembukaan akses jalan tahun 2000, tanah diserobot oleh investor perkebunan kelapa sawit. Hal ini menyebabkan produksi pangan menurun. Selain itu, alih fungsi lahan juga terjadi di Kabupaten Pasaman Barat,  Sumatera Barat.  Sebelum tahun 1990 daerah ini termasuk sentra produksi beras dengan luas sawah tidak kurang dari 27.168 hektar.  Kemudian terjadi penurunan luas sawah seiring masuknya perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2005 luas sawah di Pasaman Barat tercatat 16.127 Ha.  Dalam periode tahun 2005-2007 terjadi penurunan kumulatif sejumlah 1.287 Ha, hingga sawah yang tersisa di tahun 2007 seluas 14.840 Ha dan 4.953 Ha diantaranya ditanami jagung. Data dari Dinas Pertanian Kabupaten Pesisir Selatan Provinsi Sumatra Barat menunjukkan bahwa sekitar 1.293 hektar sawah di Kabupaten Pesisir Selatan juga berkurang dalam lima tahun terakhir akibat alih fungsi menjadi perkebunan dan perumahan.  Sawah yang tersisa hanya 30.466 Ha dengan kepemilikan lahan 0.36  Ha per rumah tangga petani.
Salah satu langkah pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan menyusun UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. UU No. 41 Tahun 2009 akan melindungi lahan-lahan pertanian yang ditetapkan masing–masing daerah sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rangka ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan pangan nasional sekaligus merencanakannya sebagai bagian dari penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Namun langkah kebijakan yang diambil pemerintah ini masih belum dapat membatasi terjadinya alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk dimanfaatkan sektor lain selain pertanian, seperti permukiman, pasar, industri, jalan tol, wisata, perkebunan atau lain sebagainya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan antara lain:
1.                  Masih banyak pejabat pemerintahan yang belum memahami UU No. 41 tahun 2009 terkait dengan kondisi pangan sekarang meskipun sudah disosialisasikan ke seluruh provinsi dan kabupaten di tanah air.
2.                  Belum dimasukkannya lahan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW).
3.                  Bupati atau walikota dengan gampangnya memberikan izin kepada investor untuk membuka usaha.
4.                  Kebutuhan lahan untuk pemukiman semakin tinggi karena laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi pula.
5.                  Masih lemahnya aturan mengenai alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan untuk kepentingan umum.
6.                  Kurangnya perhatian pemerintah pengambil kebijakan atas kepentingan umum apa saja yang diizinkan untuk dilakukan alih fungsi lahan, sehingga masih banyak terjadi miskonsepsi atas kepentingan umum yang seharusnya tidak diizinkan untuk dilakukan alih fungsi lahan pertnian pangan berkelanjutan. Dan lain sebagainya.
Fenomena alih fungsi lahan pertanian berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Alih fungsi lahan pertanian menyebabkan berkurangnya lahan pertanian sehingga mempengaruhi jumlah produksi pertanian. Menurunnya produksi pertanian akan berimplikasi pada meningkatnya harga pangan sehingga pemerintah mengambil jalan keluar dengan melakukan impor. Kenaikan harga pangan akan memberikan kontribusi terhadap menurunnya kesejahteraan masyarakat. Secara jangka panjang, alih fungsi lahan pertanian akan menimbulkan semakin terpuruknya perekonomian masyarakat desa, sedangkan pertanian merupakan tulang punggung utama perekonomian masyarakat desa. Menyempitnya lahan pertanian berarti akan mempersempit lahan pekerjaan masyarakat desa.

UPAYA PENGAMBILAN KEBIJAKAN YANG DAPAT DILAKUKAN PEMERINTAH DAN DIDUKUNG OLEH MASYARAKAT

Mengigat dampak yang ditimbulkan oleh adanya konversi lahan yang begitu luas, maka perlu dilakukan upaya-upaya pengendalian. Menurut Harjono (2005), upaya pengendalian konversi lahan pertanian merupakan sebuah sistem yang melibatkan peraturan dan pelakunya. Diperlukan adanya keterkaitan misi antar instansi agar dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan dalam rangka pengendalian lahan pertanian dan perlu adanya sosialisasi pada masyarakat akan pentingnya menjaga kelestaraian lahan pertanian demi ketahanan pangan.
Pemerintah seharusnya segera memasukkan lahan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dalam tiap rencana tata ruang wilayah (RTRW) nasional, provinsi dan kabupaten/kota agar tidak terjadi penyalahgunaan fungsi lahan pertanian dan lebih tegas menerapkan kebijakan yang telah dibuat. Seperti yang telah dilakukan oleh Pemerintahan Provinsi Jawa Tengah yang melakukan penataan ruang untuk mewujudkan Kabupaten Magelang menjadi sentra agrobisnis berbasis pertanian, pariwisata, dan industri yang mengutamakan pemanfaatn potensi lokal melalui sinergitas pembangunan perdesaan-perkotaan yang memperhatikan pelestarian fungsi wilayah sebagai daerah peresapan air. Menurut Simatupang et al. (2003), penetapan lahan pertanian abadi merupakan salah satu opsi kebijakan yang oleh sebagian pihak dianggap paling tepat untuk mencegah proses alih fungsi lahan pertanian. Jika hal ini bisa dilaksankan secara efektif maka kegiatan konversi lahan pertanian tidak akan terjadi.
Upaya lain untuk mencegah konversi lahan adalah pemerintah harus memperketat perizinan alih fungsi lahan dan menetapkan sanksi kepada investor-investor yang telah mengalihfungsikan lahan pertanian tetapi tidak mengikuti atau mematuhi aturan yang telah tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 01 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (yang dijelaskan pada Pasal 39, tiap poin dijelaskan lebih rinci pada pasal 40 sampai 46).


DAFTAR PUSTAKA

Amorita et al. 2014. Pelaksanaan perlindungan lahan milik warga: studi kasus Desa Kepuharjo, Tunjungtirta, Ngenep Kabupaten Malang. Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum-Universitas Brawijaya. Mei 2014 (21).
Handari et al. 2012. Analisis prioritas kebijakan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Magelang. Jurnal Ekosains. Vol. IV (3).
Harjono . 2005. Evaluasi implementasi kebijakan pengendalian konversi lahan pertanian di Kabupaten Tegal [Tesis]. Semarang (ID): Undip.
Republik Indonesia. 2009. Undang–undang Nomor 41 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2011. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Simatupang et al. 2003. Pengendalian konversi lahan pertanian: tinjauan ulang kebijakan lahan pertanian abadi. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanain. Bogor 2 Oktober dan Jakarta 25 Oktober 2002. 67-83.


[1] Ketua Kelompok Zeolit, mahasiswa peserta Praktikum TSL400 Pengelolaan Tanah IPB. tedhidanap@gmail.com.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DIGITASI PETA DIGITAL

SOIL AMENDMENT DAN HUBUNGANNYA DENGAN PENGELOLAAN TANAH DI INDONESIA

STRATEGI DAN PENDEKATAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT