Takdir Sang Pembunuh
Cerita pendek ini saya buat sewaktu saya kelas XI SMA. Sebenarnya saya memang kurang bisa membuat cerita pendek. Cerita pendek ini saya buat karena saya penasaran dengan kemampuan saya dalam mebuat cerita pendek. Selamat membaca...
Tedhi Dana Pamuji
Pagi ini terasa sangat berat bagiku. Tak seperti pagi-pagi biasanya, pagi ini serasa mau membunuhku. Ya, masalah sepertinya enggan untuk meninggalkanku. Silih berganti bertubi-tubi menghantamku. Belum selesai permasalahanku dengan Ruby, teman sekelasku yang merasa tersinggung karena ucapanku tentang keluarganya. Sampai sekarang kami masih belum bertegur sapa. Tiba-tiba aku dihadapkan pada masalah dengan Pak Amir, guru Antropologiku. Pikiranku dipenuhi berbagai spekulasi terburuk yang akan kuhadapi. Oh Tuhan….. aku benar-benar membutuhkan pertolonganmu.
Bagaimanapun juga aku tetap harus berangkat sekolah. Sepanjang perjalanan, dengan mengendarai motor pemberian ayahku, aku terus saja berpikiran negative tentang masalahku. Otakku serasa diputar-putar dalam sebuah ember, aku bingung, pusing, dan rasanya tak sanggup lagi memegang kemudi motorku. “Dik… Awas…!!!” brak…!! Suara benturan yang keras menyadarkanku. Ketika aku membuka mata, aku telah berbaring diatas aspal dan di sebelahku, motorku tergeletak dengan mesin yang masih menyala. Perlahan kuusap keningku yang terasa sakit. Ketika kulihat kembali tanganku, kulihat darah segar membasahi telapak tanganku. Oh…. Masalah apalagi yang telah kutimbulkan???
Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenagaku, kucoba untuk berdiri, ah… aku tak mungkin rasanya, duduk pun tak apa, yang penting aku bisa bangun dari kasur aspal ini pikirku. Akhirnya aku bisa duduk dan melihat ke sekelilingku. Alangkah kagetnya aku, bagai tersambar petir di siang hari. Seorang ibu muda berjilbab tergeletak di jalan dengan darah bercucuran. Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa, aku ingin menolongnya namun aku sendiri tak mampu menyangga tubuhku sendiri. Mataku berkunang-kunang, serasa mau pecah. Samar-samar aku melihat kerumunan orang mengerubungiku dan sesaat kemudian semua terlihat gelap.
***
Ketika kubuka mataku perlahan-lahan aku melihat kedua orang tuaku. Ibuku menangis tersedu-sedu, sementara ayahku menarik ibu dari tubuhku. “sudahlah bu,, dia sudah selamat kan” kata ayahku. “Amel, kamu sudah sadar?” tanya ayah. Aku hanya bisa mengagguk pelan. Lalu kuamati sekelilingku. “Ini kan kamar rumah sakit?” pikirku. Perlahan kuingat apa yang telah kualami. Aku telah menabrak seorang ibu muda. Sedetik kemudian pikiranku mulai diliputi perasaan cemas dan takut. Bagaimana keadaan ibu itu? Apakah dia meninggal? Hanya itu yang kupikirkan.
***
Tiga hari setelah kejadian mengerikan itu aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit. ayah dan ibuku terlihat begitu gembira. Namun tidak denganku, aku masih diliputi rasa cemas dan bersalah atas nasib ibu muda yang kutabrak. Orang tuaku tak mau memberitahuku mengenai nasib ibu muda itu. Tiap kali kutanya mereka selalu bilang kalau dia tak mengalami luka yang serius. Namun aku tak percaya. Mana mungkin orang yang mengalami luka lebih parah dariku tak mengalami luka yang serius. Sedangkan aku sendiri separah ini. Yang lebih membuatku kecewa adalah karena para perawat dan dokter yang merawatku pun juga merahasiakannya dariku. Ketika dirumah pun aku masih tak bisa tenang memikirkan ibu muda itu. Aku benar-benar tak tahan lagi.
Akhirnya kuputusakan untuk menanyakan lagi pada orangtuaku. Kali ini dengan sedikit ancaman tentunya. “Ayah, Ibu tolong ceritakan apa yang sebenaryan terjadi pada ibu muda itu, atau kalau tidak kalian ingin melihat anak satu-satumu ini mati muda??” kataku sambil mengarahkan pisau kearah jantungku. “Hentikan Amel..!!” jerit ibuku sambil menangis tersedu-sedu. “Baiklah, akan kami ceritakan apa yang sebenarnya terjadi” kata ayah. Ayahku pun memulai ceritanya. “ Setelah kami mendapat kabar bahwa kamu mengalami kecelakaan, kami segera menuju ke Rumah Sakit. Disana kami segera mengurus segala perawatan yang kamu butuhkan. Disaat itu pula suami dari ibu muda yang kamu tabrak itu mendatangi kami berdua. Dia menangis dan sangat kebingungan. Ketika dokter sudah keluar dari ruang pemeriksaan, kalian berdua ternyata kehilangan banyak darah. Pada saat itu ternyata persediaan darah yang ada di rumah sakit hanya cukup untuk digunakan satu orang. Kami benar-benar kebingungan, jika mencari darah lagi maka waktunya tak akan cukup. Kami benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Namun ternyata suami dari ibu muda tersebut mengizinkan kami untuk memakai darah yang ada. Tanpa berucap sepatah katapun ia pergi meninggalkan kami” ayahku selesai dengan ceritanya.
Aku benar-benar tak dapat menahan emosiku. Tangisku pun pecah sejadi-jadinya. “Lalu bagaimana nasib ibu itu??” tanyaku sambil menangis. “Dia meninggal dunia, nak” kata ibuku pelan. Aku semakin menangis menjadi-jadi. Ayah dan ibu ku segera mendekapku. Mereka mencoba mengatakan agar aku harus kuat. Namun, bagaimanapun juga aku tetaplah manusia yang lemah. Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku sudah melakukan salah satu dosa besar. Aku telah menjadi seseorang yang bahkan dulu tak terbayangkan di benakku. Ya, aku telah menjadi seorang pembunuh.
***
Aku benar-benar larut dalam rasa bersalah. Tak dapat kupungkiri, hati dan jiwaku bagai tertelan dalam gelapnya jurang rasa bersalaah. Sekolahku pun tak bisa optimal. Teman, guru, bahkan orangtuaku pun ikut larut dalam kesedihan yang kurasa. Dihari-hari terakhir sekolahku, menjelang kelulusan, aku sudah mulai beraanjak bangkit. Mungkin karena banyak menerima materi ujian dan menjalani banyak ujian sekolah, aku mulai bisa sedikit melupakannya. Namun aku ajuh lebih percayabahwa apa yang kualami sekarang tak ubahnya jalan hidup yang telah ditentukan oleh Sang Khalik. Begitulah yang petuah kuingat dari Bu Aminah, guru spiritualku yang diminta ayah untuk membimbingku.
Setelah lulus dari SMA, tentu saja aku ingin sekali melanjutkan studiku ke universitas. Akhirnya setelah melalui pertimbangan yang benar-benar matang, aku memutuskan untuk mengambil jurusan Pendidikan Agama Islam di salah satu PTN di kotaku. Jurusan yang kuambil ini mungkin tak lepas dari kejadian kelam yang kualami belakangan ini. Aku jadi ingin semakin dekat denganNya. “mungkin ini yang terbaik untukmu, nak”begitulah komentar ayahku ketika aku memohon izin untuk kuliah. Sementara ibuku sendiri amat bahagia melihatku yang telah bisa bangkit dari keterpurukanku.
***
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kuliah. Aku benar-benar bersemangat. Aku mendapat banyak teman baru. Aku sudah mulai akrab dengan mereka sejak ospek dulu. Namun yang paling akrab denganku adalah Marwah. Ia seorang mahasiswi asal kota Cirebon. Gaya bicaranya yang akrab dan bersahabat membuatku nyaman bersahabat dengannya.
Derap langkah sepatu vantovel pria kudengar dari balik ruang kelasku. Ketika pintu kelas terbuka, seorang pria berbaju biru dan berdasi merah masuk. Usianya kutaksir tak lebih dari 30 tahun. Wajahnya yang berwibawa dengan kacamata minus yang dipakainya menambah kagumku padanya. Apa yang kupikirkan?? Orang ini tak alin dan tak bukan adalah dosenku sendiri. Ia memperkenalkan diri, “nama saya Arianto, mengajar mata kuliah Syariah Islam”. Lalu ia mulai mulai mengajak mahasiswanya untuk memperkenalkan diri satu persatu. Ketika namaku disebut, aku benar-benar kaget. Aku masih terbawa larut dalam lamunanku. Akhirnya dengan malu-malu aku memperkenalkan diri. Seluruh teman sekelasku tertawa, namun Pak Ari hanya tersenyum padaku. Aku jadi salah tingkah sendiri. “idih…… yang lagi jatuh cinta ni…..” canda Marwah padaku. Aku hanya tersenyum dengan pipiku yang memerah.
***
Hari-hari kuliahku menjadi semakin berwarna. Kudengar Pak Ari sedang single alias belum punya pasangan. Memang ia dulu pernah mempunyai istri. Namun yang kudengar telah lama berpisah. Entah mengapa aku begitu mengagumi sosok Pak Ari. Tak pernah terbayangkan betapa bahagianya jika kelak aku bisa menjadi istrinya. Bak gayung bersambut, ternyata Pak Ari juga merasakan hal yang sama. Kedekatan kami selama ini memang cukup intens. Selain di kelas kami juga sering bertemu di masjid kampus untuk menghadiri pengajian rutin. Pak Ari benar-benar figur yang kudamba. Tak seperti sebagian temanku yang mencari pacar sepantaran, namun pada akhirnya putus juga.
Ini adalah saat-saat yang mendebarkan bagiku. Pak Ari akan dating menemui orangtuaku untuk melamarku. Ketika kudengar suara motornya, aku jadi semakin gugup. Ia datang dengan malam itu mengenakan baju muslim. “Ya Allah…kuatkanlah aku, semoga apapun keputusan yang kudapat malam ini adalah yang terbaik yang untukku” begitulah doaku malam itu. Ketika Pak Ari memasuki ruang tamu rumahku, ayah langsung menyambutnya. Namun, ada yang aneh dengan ayahku, beliau terlihat agak kaget. Entah apa yang terlintas di pikiran beliau saat bertemu dengan Pak Ari. Sesaat kemudian ibu keluar dan menemui kami. Namun, ia malah menangis tersedu. Aku benar-benar bingung. Apa yang sebenarnya terjadi? Namun, ayah segera memintaku untuk ke kamarku saja. “Ini urusan orangtua nak, kamu kekamar saja dan tunggu apa yang kami putuska” beliau berkata padaku. Aku pun segera menuju kekamar dengan 1001 pertanyaan mengenai sikap kedua orang tuaku.
Hampir dua jam sejak kedatangan Pak Ari kerumah aku menunggu dikamar. Menanti kabar dari kedua orangtuaku. Tapi, akhirnya penantianku terjawab sudah. Ibu datang menemuiku, ia memintaku kembali ke ruang tamu. Wajah ibu terlihat sembab karena tangisnya. Ketika sampai di ruang tamu ayah berkata padaku, “nak, kami izinkan kamu menikah dengan Mas Ari ini, namun kamu harus lulus dari studimu terlebih dahulu”. Aku benar-benar tak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku. Tangisku langsung pecah, tanda bahagiaku, kupeluk ibuku. Pak Ari terlihat menitikan air matanya juga.
***
Pagi itu Pak Ari sudah berada dirumahku. Kami memang sudah bersepakat untuk jalan-jalan hari itu. Semenjak kejadian malam ia melamarku, aku jadi semakin dekat dengannya. Setelah pamit kepada orangtuaku, kami segera meluncur ke tempat yang sudah akmi tentukan sebelumnya. Namun aku begitu bingung, kenapa ia mengajakku kearah pemakaman? Ketika sudah sampai di pemakaman, ia langsung mengajakku ke sebuah makam. Tampak makam itu begitu terawat. Di batu nisannya tertulis nama Humairah. Aku bertanya-tanya siapakah Humairah ini? Nampaknya ia sangat berarti bagi Pak Ari. Apakah ini makam ibunda Pak Ari? Tak mungkin, ia pernah bercerita kalau kedua orang tunya masih hidup ddan tinggal di desa. Aku amsih sangat penasaran.
Setelah selesai berziarah, aku bertanya pada Pak Ari “makam siapa itu pak?”. Pak Ari diam tertegun. “pak?” tegurku padanya. Dia mengambil nafas panjang dan mulai bicara “ itu adalah makam istriku, ia meninggal karena tertabrak motor dan kehabisan darah. Namun, darah yang akan dipakainya, digunakan untuk orang yang menabraknya”. Bagai tersambar petir, aku benar-benar kaget dan tak percaya akan apa yang terjadi. Tak tahukah Pak Ari bahwa orang yang menabrak istrinya itu aku? Bagaimana pula dengan kedua orangtuaku? Tak tahukah mereka berdua? Oh… Tuhan aku benar-benar bingung dengan apa yang terjadi
***.
Ketika kubuka mataku, aku sudah berada di kamarku. Pak Ari ada disampingku. “Tadi kamu pngsan di pemakaman, saya langsung membawa kamu kerumah” terang Pak Ari. “Kenapa bapak tidak mengatakan dari awal tentang istri bapak?” tanyaku pada Pak Ari. Pak Ari lalu menjelaskan semuanya padaku “ Saya memang salah, tidak memberitahumu tentang istriku. Saya berencana untuk memberitahukannya langsung ke orangtuamu. Saya begitu akget setelah bertemu mereka karena mereka adalah orangtua dari gadis yang menabrak istri saya. Awalnya mereka tidak menyetujui lamaran saya. Namun, setelah saya yakinkan mereka bahwa saya benar-benar mencintai kamu, mereka merestui lamaran saya”. “Tapi kenapa bapak mau menikah dengan saya yang membunuh istri bapak?” tanyaku. “Saya tulus mencintai kamu, cinta saya tulus terlepas kamu yang menabrak istri saya dulu ataupun tidak. Saya tidak memikirkan hal itu.” Pak Ari meyakinkanku. “Sekarang terserah kamu, saya ihklas dan ridho jika kamu membatalkan lamaran saya. Semua saya kembalikan kembali pada kamu”. Melihat kesungguhan Pak Ari aku menjadi yakin akan kesungguhan cinta Pak Ari. “Tidak pak, saya akan tetap mempertahankan cinta ini. Mungkin semua ini memang takdir dar Allah yang ditentukan untuk kita jalani. Saya juga masih sangat mencintai bapak”. Jawabku dengan menitikan airmata.
Ya, inilah kisah cintaku dengan seseorang yang tak pernah terbayangkan olehku. Aku yakin semua ini adalah takdir dai Allah. Dan aku harus terus menjalaninya. Suka maupun duka aku yakin Allah tetap bersamaku.
***
Komentar
Posting Komentar